REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Achmad Baidowi mengungkapkan ada kemungkinan pembahasan RUU Ketahanan Keluarga tak dilanjutkan. Sebab, banyak pihak memprotes isi dari RUU tersebut yang dinilai terlalu mengatur ranah privasi keluarga.
“Sepertinya tidak akan terjadi (melanjutkan pembahasan), karena sudah menimbulkan penolakan-penolakan,” ujar Baidowi di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (21/2).
Selain itu, sejumlah fraksi dari lima pengusul mengaku tidak tahu bahwa anggotanya mengusulkan RUU tersebut. Secara prosedural dan konstitusional, RUU memang dapat diusulkan secara perseorangan atau lintas fraksi.
“Ada beberapa fraksi yang tidak mengetahui anggotanya menjadi pengusul. Itu sebenarnya menurut kami apologi saja, karena fraksi-fraksi sudah memberikan persetujuan,” ujar Baidowi.
Ia menambahkan, panitia kerja (Panja) program legislasi nasional (Prolegnas) di Baleg akan mencermati pasal-pasal yang berada dalam RUU tersebut. Setiap fraksi juga diharapkan menyampaikan pendapatnya jika tak setuju dengan RUU Ketahanan Keluarga yang diusulkan oleh anggotanya.
Namun, ia menjelaskan, RUU Ketahanan Keluarga belum akan hilang dari Prolegnas Prioritas tahun 2020 jika semua pengusul RUU tersebut tak menarik diri untuk tidak melanjutkan RUU tersebut. “Kalau masih ada salah satu pengusul saja, tidak menarik, RUU itu masih jalan. Karena ada lima orang, empat menarik diri, dia sendiri sah sabagai pengusul,” ujar Wakil Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu.
Diketahui, ada 146 pasal dalam RUU Ketahanan Keluarga. Salah satu yang dipermasalahkan terkait penyimpangan seksual. Dalam bab penjelasan, ada empat perbuatan yang dikategorikan sebagai penyimpangan, yakni homoseksualitas atau hubungan sesama jenis, juga sadisme, masokisme, dan inses.
Pasal 86 menyebutkan: "Keluarga yang mengalami krisis keluarga karena penyimpangan seksual wajib melaporkan anggota keluarganya kepada badan yang menangani ketahanan keluarga atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan."
Sedangkan pasal 87 menyebut: "Setiap orang dewasa yang mengalami penyimpangan seksual wajib melaporkan diri kepada badan yang menangani ketahanan keluarga atau lembaga rehabilitasi untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan."
Pasal 25 ayat (3) menyebut kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang istri, yakni:
a. wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya;
b. menjaga keutuhan keluarga; serta
c. memperlakukan suami dan Anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan Anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.