REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN - Tragedi meninggalnya 10 pelajar SMP Negeri 1 Turi, Sleman mengejutkan banyak pihak. Kegiatan Pramuka yang dilakukan dengan menyusuri sungai itu tidak memperhatikan dan mengabaikan aspek keselamatan maupun risiko bencana yang dapat terjadi.
Banyak pihak yang menyayangkan pihak sekolah maupun pendamping karena dilakukannya kegiatan tersebut saat musim hujan. Terlebih, Februari 2020 ini merupakan puncak musim hujan.
Sesaat sebelum kejadian, kondisi Sungai Sempor yang berada di Padukuhan Donokerto, Turi, Sleman, masih normal. Bahkan, tidak ada hujan sama sekali. Namun tiba-tiba air sungai meluap. Hal ini dikarenakan terjadinya hujan di hulu sungai tepatnya di lereng Gunung Merapi.
Derasnya arus sungai menyebabkan ratusan siswa hanyut terbawa arus. Dari total 249 siswa dan siswi dari kelas VII dan VIII yang mengikuti kegiatan, 10 orang meninggal dunia, 216 selamat, dan 23 lainnya terluka.
Pencarian seluruh korban pun dilakukan 24 jam dan membutuhkan waktu selama tiga hari. Pencarian dilakukan sejak hari kejadian pada 21 Februari 2020 hingga 23 Februari 2020.
Seluruh pihak bersuara terkait hal ini karena banyak hal yang tidak diperhatikan saat penyelenggaraan kegiatan Pramuka tersebut. Pendamping kegiatan dinilai tidak hanya memperhatikan aspek keselamatan, namun juga tidak menguasai manajemen risiko.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Indonesia (BMKG) pun mengaku telah memberikan peringatan dini sebelum dilakukannya kegiatan tersebut. Peringatan dini yang disampaikan yakni adanya potensi hujan ekstrem yang terjadi di bagian utara Sleman.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan pihaknya telah memberikan informasi dari jauh-jauh hari. Satu pekan sebelum kejadian sudah ada peringatan dini.
Peringatan dini tersebut juga telah disampaikan kembali tiga hari sebelum tragedi. Bahkan tiap satu jam di hari kejadian, informasi potensi hujan ekstrem selalu diperbarui oleh BMKG.
"Peringatan dini itu sudah disampaikan pukul 13.15 WIB. Sebetulnya tiga hari sebelumnya juga sudah ada potensi cuaca ekstrem. Informasi diulang-ulang tiap hari dan (informasi) yang paling dekat (disampaikan) saat kejadian itu peringatan dini 13.15 WIB," katanya.
Walaupun di Sungai Sempor sebelum kejadian tidak hujan, BMKG menyebut sudah terdeteksi dari citra radar cuaca yakni awan Cumulonimbus (Cb) yang siap masuk ke wilayah Sleman. Awan Cb saat itu masih berada di wilayah Jawa Tengah. Namun awan itu diperkirakan akan masuk ke wilayah Sleman bagian utara dalam waktu setengah jam.
BMKG kembali mengeluarkan peringatan dini yang berlaku untuk satu jam yakni mulai pukul 13.45 sampai 15.45 WIB. Setelah itu, gelombang kedua awan Cb kembali terdeteksi.
"Pukul 15.00 WIB kami keluarkan peringatan dini. Peringatan dini tersebut untuk potensi hujan ekstrem yang dimulai 15.30 sampai 16.30 WIB. Ternyata kejadiannya (siswa terbawa arus sungai) sekitar 15.30 WIB lebih," ujar Dwikorita.
Kendati telah diberikannya peringatan dini, ternyata kegiatan tetap dilakukan. Pihak sekolah juga tidak berkonsultasi terlebih dahulu terkait potensi dan risiko yang dapat terjadi jika kegiatan Pramuka tetap dilakukan.
"Pihak sekolah belum konfirmasi ke BMKG. Petugas di sini tidak menerima konfirmasi sebelumnya dari pihak sekolah. Tentunya kami merasa sangat prihatin," ujarnya.
Fraksi Partai Golkar DPRD DIY menyebut tragedi tersebut seharusnya dapat dihindari baik pihak sekolah maupun pendamping kegiatan. Namun, sangat disayangkan dilakukannya kegiatan tersebut saat potensi hujan di wilayah Sleman sangat tinggi.
Tingginya potensi hujan di Sleman menyebabkan kerentanan risiko bencana juga sangat tinggi. Tidak hanya meluapnya air sungai dan banjir, namun tanah longsor juga dapat terjadi. Hal ini tidak diperhatikan oleh pihak sekolah SMPN 1 Turi. Akibatnya, siswa-siswi terbawa arus sungai dan menyebabkan 10 siswi meninggal dunia.
"Kejadian seperti jangan sampai terulang lagi dan menjadi pembelajaran bagi kita semua. Khususnya pihak-pihak yang akan melakukan kegiatan yang mempunyai kerentanan tinggi terjadinya kecelakaan karena faktor cuaca," kata Ketua Fraksi Golkar DPRD DIY Rany Widayati.
Menurutnya, perlu adanya edukasi terkait risiko bencana di sekolah. Tidak hanya kepada murid, namun semua warga sekolah perlu diberikan edukasi dal menumbuhkan kesadaran akan risiko bencana.
Walaupun begitu, bukan berarti kegiatan Pramuka dengan menyusuri sungai tidak diperbolehkan. Hal terpenting adalah harus memperhatikan aspek keselamatan maupun risiko.
Kepala BPBD DIY Biwara Yuswantana menyebut kegiatan Pramuka dengan menyusuri sungai dalam rangka pengenalan alam. Kegiatan ini harus dilakukan dengan memperhatikan aspek keselamatan seperti cuaca, potensi ancaman dan risiko bencana, serta harus didampingi oleh orang yang berkompeten.
Hal ini tentu berbeda dengan susur sungai dalam konteks penanggulangan atau mitigasi bencana. Perlunya aspek tersebut diperhatikan, agar kegiatan Pramuka ke depannya tidak menimbulkan tragedi yang tidak diinginkan.
"Mohon informasi kejadian tidak menimbulkan trauma di kalangan anak. Tetapi kegiatan pengenalan alam tetap dilaksanakan dengan memperhatikan aspek keselamatan," jelasnya.
Kejadian ini meninggalkan duka mendalam bagi keluarga korban. "Ada salah perkiraan," kata paman dari salah satu korban meninggal dunia atas nama Fanesha Dida Amalia yakni Agus Riyanto.
Menurut Agus, pihak sekolah salah dalam memperkirakan kondisi cuaca dalam melakukan kegiatan Pramuka dengan menyusuri sungai. Sebab, saat itu sebenarnya tidak memungkinkan untuk dilakukannya kegiatan tersebut.
"Kondisi cuaca yang tidak memungkinkan kegiatan itu bisa dilakukan. Tapi, memang ada izin ke orang tua untuk mengikuti kegiatan," jelas Agus.