REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Pengadilan Inggris mulai persidangan yang akan memutuskan apakah Julian Assange akan diekstradisi ke Amerika Serikat (AS) atau tidak. Pengadilan tersebut digelar setelah hampir satu dekade WikiLeaks membuat geram Washington dengan membocorkan rahasia pemerintah.
Para pendukung Assange mengatakan ia berhasil mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan. Sementara, kritikusnya mengatakan laki-laki itu musuh negara yang membahayakan keamanan negara-negara Barat.
Assange mengatakan ekstradisinya bermotif politik oleh orang-orang ia permalukan dalam data-data yang ia bocorkan. Amerika Serikat menginginkan laki-laki berusia 48 tahun itu.
Ia dituntut 18 dakwaan atas konspirasi meretas komputer pemerintah dan melanggar undang-undang spionase. Jika ia dinyatakan bersalah maka Assange dapat menghabiskan puluhan tahun di penjara.
Setelah sepuluh bulan sejak ia dibawa keluar dari Kedutaan Besar Ekuador, tempat ia bersembunyi selama tujuh tahun. Pada Senin (24/2), hakim Vanessa Baraitser akan mendengar argumen apakah ia harus diekstradisi ke AS atau tidak.
Pengacara Assange, Jennifer Robinson mengatakan kasus kliennya dapat mengarahkan pada kriminalisasi aktivitas investigasi jurnalistik. Menurutnya, apa yang dilakukan Assange telah menunjukkan bagaimana AS menggelar perang di Irak dan Afghanistan.
"Kami berbicara tentang collateral murder, bukti kejahatan perang, data-data itu sumber yang luar biasa bagi kami yang ingin pertanggung jawaban pemerintah atas pelanggaran," kata Robinson.
WikiLeaks menyebut serangan yang dilakukan pasukan AS di Baghdad pada 12 Juli 2007 sebagai collateral murder. Dalam video yang dibocorkan WikiLeaks tersebut pasukan AS menembaki orang-orang dan menertawakan beberapa korban. Para korban adalah warga sipil dan reporter.
WikiLeaks membuat Washington marah dengan mempublikasikan ratusan ribu kabel diplomatik rahasia AS. Kabel diplomatik itu menunjukkan kritikan AS terhadap pemimpin-pemimpin dunia termasuk Presiden Rusia Vladimir Putin hingga anggota kerajaan Arab Saudi.