REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono memproyeksi, pada Maret, industri dalam negeri mulai kesulitan mencari bahan baku dan barang modal. Kondisi itu disebabkan penyebaran virus corona yang mengganggu arus lalu lintas barang-barang kebutuhan industri, terutama sektor pengolahan.
Susiwijono menjelaskan, puncak penyebaran virus corona yang berasal dari Wuhan, China, terjadi pada 20 hingga 30 Januari lalu. Sejak itu, produksi komoditas dari China dan sekitarnya terhambat, dan bahkan ada yang sampai terhenti.
Dampaknya ke Indonesia tidak seketika langsung dirasakan. Susiwijono mengatakan, proses yang dibutuhkan industri untuk memesan hingga membayar bahan baku dan barang modal setidaknya memakan waktu dua sampai tiga bulan. "Berarti, Maret nanti, industri kita kesulitan bahan baku manufaktur," ujarnya dalam diskusi di Jakarta, Senin (24/2).
Susiwijono mengakui, pemerintah belum menghitung dampak potensi kerugian industri manufaktur akibat kesulitan mencari bahan baku dan barang modal. Tapi, ia menyebutkan, efeknya pasti besar mengingat 74 persen impor ke Indonesia merupakan kebutuhan industri dengan sebagian besar berasal dari China.
Susiwijono memastikan, pemerintah terus memonitor perkembangan dampak penyebaran virus corona terhadap ekonomi Indonesia, termasuk kinerja industri. Apalagi, jumlah kasus dan kematian akibat virus ini mengalami pertumbuhan eksponensial. "Kita memang harus segera merespons," ucapnya.
Tapi, Susiwijono belum dapat menjelaskan kebijakan yang siap dilakukan pemerintah secara konkret dan detail. Ia hanya menyebutkan, pemerintah akan membantu industri untuk mencari sumber produksi bahan baku dan barang modal pengganti China.
Di sisi lain, Susiwijono menambahkan, pemerintah terus memperluas akses ekspor. Khususnya ke negara-negara non tradisional seperti di kawasan Afrika maupun Eropa. Rencana itu untuk mengantisipasi penurunan daya beli China setelah wabah virus corona, sehingga menurunkan tingkat permintaan terhadap produk Indonesia.
Sebagai upaya paling strategis, Susiwijono menyebutkan, pemerintah juga terus memperbesar pasar domestik. Untuk memperkuat daya beli masyarakat dan industri, pemerintah menaruh harapan besar pada Omnibus Law Cipta Kerja yang ditargetkan rampung serta bisa diterapkan di tahun ini. "Transmisinya memang nggak cepat, tapi nggak ada pilihan," ujarnya.
Sementara itu, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Rosan Roeslani mengatakan, potensi kesulitan bahan baku akan berpotensi menaikkan harga jual di pasaran. Hal itu mau tak mau dilakukan agar dunia usaha tetap dapat berproduksi.
Sebelum ada kasus penyebaran corona, pengusaha sebenarnya sudah mulai menurunkan produksi akibat ketidakpastian global sepanjang 2019. "Kalau bahan baku nantinya sulit didapat, ya ini semakin mengurangi produksi. Itu (menaikkan harga) bisa saja dilakukan," tuturnya dalam kesempatan yang sama.
Rosan berharap, pemerintah dapat segera membuat kebijakan untuk mengantisipasi ancaman kesulitan bahan baku. Apabila tidak ada tindakan tegas, kondisi itu berpotensi meningkatkan inflasi karena industri menekan jumlah produksi.
Tidak hanya itu, Rosan menambahkan, hal itu juga berpotensi semakin menghambat laju industri yang berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kontribusi ekonomi domestik paling besar disumbang oleh lapangan kerja industri. Sepanjang 2019, kontribusinya mencapai 19,7 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
"Jadi memang harus dicari terobosan baru ke negara lain yang bisa gantikan peran dari barang-barang modal," ujar Rosan.