REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Lima orang tewas dan 90 lainnya cedera dalam bentrokan di ibu kota India, Senin lalu. Bentrokan itu terjadi dalam aksi protes menentang undang-undang kewarganegaan yang baru.
"Beberapa orang yang dibawa ke rumah sakit memiliki luka tembak," ujar pengawas medis di Guru Teg Bahadur Hospital, Rajesh Kalra.
Polisi menggunakan gas air mata dan granat asap untuk membubarkan massa yang melempari petugas dengan batu. Salah satu petugas polisi termasuk di antara mereka yang tewas dalam kekerasan yang meletus, sebelum kunjungan perdana Presiden AS Donald Trump ke India.
Trump dan Perdana Menteri India Narendra Modi dijadwalkan bertemu pada Selasa (25/2). Keduanya akan melakukan pertemuan di sebuah tempat yang terletak beberapa mil dari tempat bentrokan terjadi.
Hingga Selasa, ketegangan di beberapa tempat di New Delhi tetap tinggi. Sejumlah sekolah di beberapa daerah diliburkan karena khawatir dengan risiko keamanan. Sementara, lima stasiun metro di kota ditutup.
Bentrokan yang terjadi pada Senin lalu adalah yang terburuk di Delhi sejak aksi protes terhadap Citizenship Amendment Act (CAA) dimulai pada awal Desember. Ibu kota India telah menjadi sarang protes terhadap undang-undang yang dinilai telah merugikan Muslim di India. Dalam undang-undang itu, pemerintah India akan memberikan kewarganegaraan bagi pengungsi non Muslim dari tiga negara tetangga.
Hal itu menimbulkan tuduhan bahwa Modi dan nasionalis Hindu, yakni Partai Bharatiya Janata (BJP) merusak tradisi sekuler India. BJP menyangkal adanya bias terhadap lebih dari 180 juta Muslim minoritas di India, tetapi para penentang telah melakukan protes dan mendirikan kemah di bagian-bagian New Delhi selama dua bulan.