REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deputi Bidang Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Herizal mengatakan, pembangunan infrastruktur hingga jangka panjang harus menyesuaikan dengan tren perubahan iklim. Apalagi kini yang terlihat tren peningkatan cuaca ekstrem, sehingga desain pembangunan harus mendukung upaya antisipasi dan kontribusi menurunkan cuaca ekstrem itu.
"Pertanyaannya infrastruktur kita siap tidak dengan perubahan seperti itu. Kepala BMKG merekomendasikan, mungkin harus menyesuaikan infrastruktur dengan kondisi perkembangan cuaca iklim terakhir," ujar Herizal di kantor BMKG, Selasa (25/2).
Pembangunan waduk maupun gorong-gorong, besarnya harus menyesuaikan dengan kondisi iklim terakhir. Ketika intensitas curah hujan semakin tinggi dan dalam waktu pendek, pemerintah harus memperhitungkan luasan penampung air hujan agar tidak meluap.
Herizal mencontohkan, kemungkinan pembangunan waduk di Kemayoran pun tidak memperhatikan kondisi iklim, sehingga ketika hujan saat ini, air hujan tak optimal ditampung dan justru meluber ke permukiman dan jalan. Menurut dia, hal itu juga terjadi di wilayah lain, termasuk berkurangnya daerah resapan air.
"Kemayoran itu sebenarnya ada folder/waduk tapi barangkali waduknya didesain dengan data tempo dulu, sehingga tadi melimpah sampai berapa jam," katanya.
Pembangunan apapun saat ini seharusnya diawasi pemerintah, setidaknya agar mengurangi limpahan hujan ekstrem dengan membuat daerah resapan, dan menanam pohon hingga dipastikan tumbuh. Tumbuh-tumbuhan itu difungsikan menyerap karbondioksida (CO2) sebagai penyumbang pemanasan global.
Selain itu, ketika memasuki musim kemarau, melalui daerah resapan dan pohon-pohon dapat membantu menyimpan air di dalam tanah. Menurut dia, pemerintah bisa memulai melakukan pembangunan rendah berkarbon atau pembangunan ramah lingkungan.
Kendati demikian, kebijakan pemerintah dalam upaya menurunkan emisi sebagai upaya mengurangi efek gas rumah kaca dan pemanasan global, juga harus diiringi kemauan masyarakat ikut berkontribusi. Mulai dari penggunaan transportasi umum, agar tren kenaikan suhu atau temperatur di wilayah Indonesia tidak terus terjadi. "Sekarang tren kenaikan suhu (Indonesia) memang di bawah rata-rata global, tetapi polanya kita naik, hampir mendekati rata-rata global," katanya.
Berdasarkan data historis serta analisa klimatologis BMKG periode 1866 sampai 2019 dan proyeksi perubahan iklim, kondisi kejadian fenomena cuaca dan iklim ektrem semakin sering selama 30 tahun terakhir dengan intensitas yang semakin tinggi. Hal yang sama diproyeksikan juga akan terjadi di masa yang akan datang dalam kurun waktu 2020-2040.