Rabu 26 Feb 2020 03:53 WIB

Tangis Nabi Muhammad Ketika Anaknya Meninggal (3)

Anak Nabi Muhammad yang bernama Ibrahim meninggal saat balita.

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti/ Red: Muhammad Hafil
Tangis Nabi Muhammad Ketika Anaknya Meninggal. Foto: Rasulullah SAW (ilustrasi)
Foto: republika
Tangis Nabi Muhammad Ketika Anaknya Meninggal. Foto: Rasulullah SAW (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, MADINAH -- Bersamaan dengan kematian Ibrahim, kebetulan terjadi pula gerhana matahari. Kaum Muslimin menganggap peristiwa itu suatu mukjizat. Mereka menganggap gerhana matahari terjadi karena kematian Ibrahim. Hal ini terdengar oleh Nabi.

Kemudian beliau menemui kaum Muslimin dan menegaskan terjadinya gerhana matahari bukan karena kematian Ibrahim. "Matahari dan bulan adalah tanda kebesaran Allah, yang tidak ada hubungannya dengan kematian atau hidup seseorang. Kalau kalian melihat hal itu, maka berlindunglah kepada Allah dengan dzikir dan doa," sabda beliau.

Baca Juga

Ini dilakukan agar umat Islam tidak melakukan kesalahan pola pikir. Allah juga tidak memperpanjang usia putra-putra beliau, salah satu hikmahnya adalah agar orang-orang tidak mengkultuskan putra-putranya atau mengangkatnya menjadi Nabi setelah beliau. Bisa kita lihat, cucu beliau Hasan dan Husein saja sudah membuat orang-orang yang lemah terfitnah. Mereka mengagungkan kedua cucu beliau melebih yang sepantasnya.

Hikmah dari wafatnya putra dan putri Nabi  juga sebagai teladan bagi orang-orang yang kehilangan salah satu putra atau putri mereka. saat kehilangan anaknya, Nabi bersabar dan tidak mengucapkan perkataan yang tidak diridhai Allah. Ketika seseorang kehilangan salah satu anaknya, maka Rasulullah telah kehilangan hampir semua anaknya.

Rasa cinta orang tua kepada anak merupakan hal yang manusiawi. Rasulullah pun menyayangi anak-anaknya seperti orang tua lainnya. Sungguh suatu kebesaran jiwa yang tiada taranya. Rasulullah  tidak melupakan risalahnya dalam suatu situasi yang demikian gawat. Kondisi jiwa yang dilanda keharuan dan kesedihan nan amat dalam

Rasulullah SAW, adalah penutup dari segala nabi dan rasul. Ayat Alquran menegaskan fakta itu antara lain: ''Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.'' (QS Al-Ahzab [33]: 40). 

 

''Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul.'' (QS Ali Imran [3]: 144). 

 

Dan tanda-tandanya sebagai seorang nabi dan rasul adalah seorang anak yatim, senantiasa dilindungi awan, perkataannya selalu baik dan dipuji orang. 

 

Dan para ahli bahasa memberikan makna terhadap kalimat khatama dalam surah Al-Ahzab ayat 40 itu dengan al-Istitsaqu wal man'u. (Lihat Lisan al-'Arab Bab Kha), artinya memastikan dan menolak sesuatu. Dengan demikian, Alquran menyebutkan Muhammad sebagai khatamannabiyyin, artinya pasti dan tidak ragu bahwa Muhammad sebagai Nabi terakhir dan menolak orang yang mengaku Nabi di kemudian hari.  

 

Menurut para mufasir, ada tiga tafsiran tentang kata khatamannabiyyin tersebut. Pertama, khatamannubuwwah, penutup kenabian. Kedua, Allah SWT menyempurnakan kenabian dan rasul sejak awal sampai akhir dengan diutusnya Rasulullah SAW. Ketiga, Muhammad paling akhir di antara para Nabi Allah yang diutus.  

 

Ibnu Abbas, sahabat sekaligus ahli tafsir terkemuka di zaman Nabi mengomentari ayat di atas, "Seolah-olah Allah berkehendak dengan firmanNya, kalaulah Allah tidak menutup nabi-nabi dengan kenabian Muhammad, seolah Allah berfirman, pasti Aku jadikan seorang nabi di antara anaknya. Tapi Allah Mahamengetahui terhadap segala sesuatu. Mengapa tidak menjadikan salah satu anak Muhammad sebagai nabi dan rasul karena memang Allah berkehendak Muhammad sebagai Nabi terakhir."  

 

Salah satu logika yang digunakan Ibnu Abbas adalah bukti sejarah yang menunjukkan bahwa tiga putra beliau; dua dari khadijah, pertama, Qasim, sehingga beliau SAW dipanggil Abul Qasim, lahir sebelum beliau diangkat menjadi nabi dan meninggal dalam usia dua tahun. Kedua, Abdullah yang dijuluki Ath-Thayyib dan Ath-Thahir karena dia dilahirkan dalam Islam meninggal dunia setelah lahir beberapa hari. Ketiga, putra dari Mariah Qibtiyah bernama Ibrahim meninggal dalam usia 16-18 bulan (Al-Wafa, halaman 536-537). 

 

Kalaulah putra beliau SAW, hidup sampai dewasa, tidak mustahil di kemudian hari orang akan mendewakan salah satunya dan mengangkatnya sebagai nabi. Tapi Allah mentakdirkan tidak menjadikan seorang pun hidup sampai dewasa.

 

 

 

 

Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
اَلنَّبِيُّ اَوْلٰى بِالْمُؤْمِنِيْنَ مِنْ اَنْفُسِهِمْ وَاَزْوَاجُهٗٓ اُمَّهٰتُهُمْ ۗوَاُولُوا الْاَرْحَامِ بَعْضُهُمْ اَوْلٰى بِبَعْضٍ فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُهٰجِرِيْنَ اِلَّآ اَنْ تَفْعَلُوْٓا اِلٰٓى اَوْلِيَاۤىِٕكُمْ مَّعْرُوْفًا ۗ كَانَ ذٰلِكَ فِى الْكِتٰبِ مَسْطُوْرًا
Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dibandingkan diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka. Orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu hendak berbuat baikkepada saudara-saudaramu (seagama). Demikianlah telah tertulis dalam Kitab (Allah).

(QS. Al-Ahzab ayat 6)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement