REPUBLIKA.CO.ID, Seorang ilmuwan yang cendekia hadir ke tengah masyarakatnya untuk membawa perubahan. Ia muncul bukan untuk duduk di atas menara gading yang minta dipuja. Ia harus bertutur dan mengajarkan ilmu kepada umatnya dengan cara yang bisa mereka pahami; dengan bahasa mereka; untuk menyentuh mereka, lalu mencerdaskan mereka.
Suatu ketika Plato ikut menyaksikan pesta olahraga yang diadakan di Yunani setiap empat tahun sekali, suatu perhelatan yang menjadi cikal bakal olimpiade hingga era modern saat ini. Pada masa itu Plato sudah termasyhur di berbagai penjuru negeri sebagai seorang filosof yang baik akhlaknya, sangat tawadhu, dan juga pemalu.
Saat menonton pertandingan yang sedang berlangsung, Plato duduk di antara banyak penonton lainnya. Mereka belum saling mengenal. Di antara penoton ada yang bertanya namanya, dan ia menjawab bahwa namanya Plato, tidak lebih. Mereka berbincang-bincang dengan akrab. Meski dikenal sebagai seorang filosof besar, Plato saat itu ternyata tidak sedikit pun berbicara tentang filsafat atau ilmu pengetahuan yang njlimet.
Beberapa tahun setelah olimpiade usai, orang-orang yang dulu pernah berkenalan dengan Plato di pesta olahraga itu singgah kembali ke Atena di mana Plato tinggal. Plato menyambut tamu-tamunya dengan hangat. Para tamu Plato kemudian berkata, "Di antara maksud kedatangan kami ke Atena adalah untuk menemui seorang filosof kalian yang namanya sama dengan nama Anda. Bersediakah Anda membawa kami bertemu dengannya?"
Plato tersenyum dan kemudian berkata, "Sayalah Plato yang Anda maksud."
Mendengar jawaban Plato, para tamunya takjub seraya berkata, "Sungguh kami telah mendengar kehebatan dan keistimewaan Anda sebelum kami bertemu dengan Anda. Dan ketika kami melihat Anda, kami dapatkan Anda lebih dari yang kami dengar."
Demikianlah satu petikan cerita tentang sosok filosof yang sangat terkenal sepanjang sejarah manusia itu. Plato adalah satu dari 100 tokoh yang menurut Michael H Hart paling berpengaruh dalam sejarah. Dialah pioner filosof politik, etika, metafisika, dan karya-karya pemikirannya telah terbaca luas lebih dari 2.300 tahun.
Namun, ketinggian ilmu ternyata tetap membuat Plato menyatu dengan manusia lain; yang sederhana dalam tutur kata, tidak memamerkan ilmunya dalam pembicaraan, tidak berbicara yang sulit-sulit, dan tidak pula membuat orang lain bingung dengan apa yang ia ucapkan.