Rabu 26 Feb 2020 23:54 WIB

MK Minta Model Pemilu tak Sering Diubah

MK menola permintaan Perludem pisahkan pemilu serentak nasional dan lokal

Rep: Mimi Kartika/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) didampingi (kiri-kanan) Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Aswanto, Saldi Isra, dan Manahan MP Sitompul membacakan putusan perkara Nomor 75/PUU-XVII/20 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (29/1/2020).
Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) didampingi (kiri-kanan) Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Aswanto, Saldi Isra, dan Manahan MP Sitompul membacakan putusan perkara Nomor 75/PUU-XVII/20 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (29/1/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi menggelar sidang putusan uji materi Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan UU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) terkait pemilu serentak. Dalam pertimbangannya, majelis hakim konstitusi menimbang agar pembentuk undang-undang tidak sering kali mengubah model pemilu.

"Tidak acap kali mengubah model pemilihan langsung yang diselenggarakan serentak sehingga terbangun kepastian dan kemapanan pelaksaan pemilu," ujar Anggota Majelis Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam persidangan di gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (26/2).

MK menolak permintaan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) agar memisahkan pemilu serentak nasional (Presiden dan Wakil Presiden, DPR serta DPD) dan pemilu serentak lokal (kepala daerah dan DPRD). Akan tetapi, MK membuka peluang peninjauan dan penataan kembali desain pemilu serentak dalam pertimbangan yang ada di putusan perkara nomor 55/PUU-XVII/2019.

Namun, Saldi menegaskan, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), anggota DPR, serta anggota DPD harus dilangsungkan secara serentak sesuai konstitusi dan sistem pemerintahan presidensial. Sementara pemerintah dan DPR dapat menyusun model pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota maupun provinsi dan pilkada, apakah diselenggarakan berbarengan dengan pilpres atau tidak.

"Peninjauan dan penataan demikian dapat dilakukan sepanjang tidak mengubah prinsip dasar keserentakan pemilihan umum dalam praktik sistem pemerintah presidensial yaitu tetap mempertahankan keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota perwakilan rakyat di tingkat pusat, yaitu DPR dan DPD dengan pemilihan presiden dan wakil presiden," ujar Saldi.

Dengan demikian, tersedia berbagai kemungkinan pelaksanaan pemilu serentak. Penentuan model yang dipilih menjadi wilayah bagi pembentuk undang-undang untuk memutuskannya.

Namun dalam memutuskan pilihan model atas keserentakan pemilu, pembentuk undang-undang perlu mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, pemilihan model yang berimplikasi pada undang-undang dilakukan dengan partisipasi semua kalangan yang memiliki perhatian atas pemilu.

Kedua, kemungkinan perubahan undang-undang dengan berbagai model tersebut dilakukan lebih awal sehingga tersedia waktu untuk dilakukan simulasi sebelum perubahan tersebut benar-benarefektif dilaksanakan. Ketiga, pembentuk perundang-undangan menentukan dengan cermat semua implikasi teknis atas pilihan model yang tersedia.

"Sehingga pelaksanaanya tetap dalam batas penalaran yang wajar terutama dalam mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas," lanjut Saldi.

Keempat, pilihan model selalu memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam pelaksanaan hak untuk memilih sebagai wujud hak kedaulatan rakyat. Kelima, tidak acap kali merubah model pemilihan langsung yang diselenggarakan serentak sehingga terbangun kepastian dan kemapanan pelaksaan pemilu.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement