REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menanggapi penerbitan peraturan terkait tata tertib persidangan, dimana pengambilan foto, rekaman suara, rekaman tv harus seizin Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. YLBHI menilai aturan tersebut bisa memicu timbulnya mafia peradilan.
Ketua YLBHI Asfinawati mengatakan, aturan ini juga bertentangan dengan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menjamin kerja-kerja jurnalistik dalam memperoleh informasi dan menyebarluaskan kepada masyarakat. "Apalagi terdapat ancaman pemidanaan di dalamnya. Ancaman pidana yang ada dalam Surat Edaran tersebut sudah terdapat dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, sehingga tidak pada tempatnya dicantumkan dalam Surat Edaran ini," kata Ketua YLBHI, Asfinawati dalam keterangannya, Kamis (26/2).
Asfinawati melanjutkan, mengambil gambar, merekam dan meliput persidangan tanpa izin adalah ranah hukum administrasi yang dihubungkan dengan sesuatu perbuatan yang dilarang. Sedangkan mengambil gambar, merekam, dan meliput tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang dilarang.
"Ketua Pengadilan dan birokrasinya akan dengan mudah menolak permohonan izin tersebut dengan berbagai alasan dan kepentingan tertentu," ujarnya.
Ia mengungkapkan, YLBHI mencatat, selama ini rekaman sidang memiliki setidak-tidaknya beberapa manfaat yaitu menjadi bukti keterangan-keterangan dalam sidang. Pertama, Indonesia tidak memiliki tradisi dan ketentuan yang ketat mengenai catatan jalannya sidang.
"LBH-YLBHI sering menemui keterangan saksi dikutip secara berbeda baik di dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum maupun putusan majelis hakim. Atau keterangan saksi tidak dikutip secara utuh baik oleh Jaksa maupun hakim sehingga menimbulkan makna berbeda," ungkapnya.
Kemudian, dalam dunia peradilan di Indonesia juga ada pola lain, yakni ada keterangan saksi-saksi tertentu tidak diambil dan tidak dijelaskan pemilihan keterangan saksi tersebut. Dalam pengalaman LBH, juga sering ditemukan bahkan hakim menghalang-halangi liputan media dan juga dokumentasi oleh Tim Penasihat Hukum.
Selain itu dokumentasi juga bisa menjadi bukti sikap majelis hakim dan para pihak terikat pada hukum dalam bertindak di dalam sidang. Asfinawati pun mencontohkan Pasal 158 KUHAP yang melarang hakim menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di dalam persidangan tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa.
"Atau Pasal 166 KUHAP yang mengatur pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan baik kepada terdakwa maupun kepada saksi," ucapnya.
Selain itu, rekaman persidangan baik audio maupun video juga membuat hakim dan para pihak merasa diawasi. Setidaknya hakim dan para pihak akan berpikir dua kali apabila mereka hendak bertindak tidak baik karena akan ada bukti dari rekaman audio dan video tersebut.
Di sisi lain, masalah-masalah pengadilan belum banyak berubah. Meskipun terdapat beberapa peraturan di tingkat MA yang membawa pembaruan MA, tetapi praktik-praktik minta uang serta layanan yang belum teratur masih ditemui di mana-mana. Pengadilan lambat merespon permintaan pihak-pihak yang berperkara.
Sebelumnya, Ditjen Badan Peradilan Umum (Badilum) Mahkamah Agung (MA) menerbitkan peraturan terkait tata tertib persidangan di Pengadilan Negeri.
Dalam Surat Edaran yang ditandatangani pada 7 Februari 2020 tersebut terdapat aturan bahwa "Pengambilan Foto, rekaman suara, rekaman TV harus seizin Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan".
Surat edaran itu juga memuat poin lainnya di antaranya seluruh orang yang hadir dalam sidang dilarang mengaktifkan HP selama persidangan berlangsung. Selain itu, pengunjung sidang dilarang keluar masuk ruang sidang untuk alasan yang tidak perlu. Melalui surat edaran itu pula, ketua majelis hakim diminta memeriksa dan menerapkan tata tertib tersebut.