REPUBLIKA.CO.ID, XINJIANG -- Pemerintah China mengklaim jumlah masjid di Daerah Otonomi Xinjiang yang banyak dihuni etnis minoritas Muslim Uighur lebih banyak daripada di Amerika Serikat.
"Ada 24.400 unit masjid di Xinjiang, satu unit untuk 530 Muslim. Bandingkan dengan jumlah masjid di AS yang bahkan kurang dari 10 persen jumlah masjid di Xinjiang," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China (MFA) Zhao Lijian dalam keterangan tertulis, Kamis (27/2).
Pernyataan tersebut sebagai tanggapan atas pernyataan Duta Besar AS di Organisasi Kebebasan Beragama Dunia (IRF) Sam Brownback yang menuduh Beijing melakukan berbagai upaya terhadap umat Islam di China agar menjadi warga negara yang patuh dan taat sebagai bentuk penindasan terhadap umat beragama.
"Bukan yang pertama kalinya orang-orang tertentu di AS membuat tuduhan dan rumor yang ngawur untuk merusak kerukunan antaretnis di China dengan mencampuri urusan dalam negeri kami melalui dalil kebebasan beragama. Kami menentang semua itu," ujar Zhao.
Ia menegaskan bahwa pemerintahannya melindungi kebebasan warganya dalam beragama sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"Menurut hasil jajak pendapat yang dirilis oleh Gallup and Pew Research Center, 42 persen warga AS sangat prihatin dengan isu berkaitan dengan ras dan 75 persen Muslim di AS mengakui adanya diskriminasi serius terhadap mereka," katanya.
Oleh sebab itu, dia mendesak AS agar menghentikan berbagai upaya mencampuri urusan dalam negeri China dengan dalih agama.
"Saya sarankan kepada duta besar yang bertanggung jawab atas urusan kebebasan beragama agar lebih banyak lagi belajar tentang kebenaran dan lebih menghormati orang lain," ujar diplomat yang baru saja mendapat kepercayaan sebagai jubir MFA itu.
Sebelumnya, AS dan Barat menuduh Beijing melakukan pelanggaran hak asasi manusia dengan menempatkan 1,5 juta warga etnis Muslim Uighur di kamp-kamp konsentrasi yang tersebar di beberapa kabupaten/kota di Xinjiang. Namun, Beijing membantah dengan dalih kamp-kamp tersebut sebagai pusat pelatihan pendidikan keterampilan sekaligus sebagai upaya deradikalisasi terhadap warga etnis Muslim Uighur.
Gubernur Xinjiang Zakir Shohrat di Beijing menjelang akhir tahun lalu mengatakan bahwa para penghuni kamp sudah berhasil merampungkan program pendidikan dan pelatihan sehingga berhak meninggalkan kamp. Selain Uighur, umat Islam di China juga berasal dari beragam etnis lainnya, terutama Hui dan Salar.