REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Polemik RUU Omnibus Law telah menimbulkan banyak bentuk penolakan dari berbagai kalangan, termasuk di antaranya oleh Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta (AJI Yogyakarta).
Ketua AJI Yogyakarta, Shinta Maharani menerangkan keberadaan RUU Omnibus Law telah mencurangi prinsip demokrasi dengan adanya campur tangan pemerintah terhadap pers.
Pada draf RUU Omnibus Law di paragraf lima terdapat adanya perubahan terhadap dua pasal UU Pers saat ini. Pasal 18 menyebutkan adanya pemberatan sanksi bagi perusahaan pers yang tidak menghormati norma agama, kesusilaan, asas praduga tak bersalah, menolak melayani hak jawab, hak koreksi, dan konten pemberitaan yang melanggar aturan.
Pasal ini mengatur pemberian sanksi berupa denda atas pelanggaran yang disebutkan dari Rp 500 juta rupiah naik menjadi 2 miliar. “Kami dari AJI melihat rawan pasal ini menjadi pasal karet, menyerupai dengan UU ITE pada pencemaran nama baik,” tuturnya pada kesempatan diskusi 'Omnibus Law dan Korupsi Legislasi' di Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (PUKAT UGM), Rabu (26/2).
Sementara itu pada ayat 4 menyebutkan ketentuan jenis, besaran denda, tata cara dan mekanisme pengenaan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud ayat 3 diatur melalui pemerintah. Menurut Shinta, keberadaan ayat ini justru dapat menjadikan pemerintah bertindak seenaknya dalam rangka pemberian sanksi terhadap pers.
Selain itu, Shinta menerangkan adapula pasal yang menyederhanakan persyaratan investasi pada sektor tertentu. di Pasal 11, yakni pemerintah pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal. Berbanding terbalik dengan aturan sebelumnya yang menyebutkan penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal.
Keberadaan RUU Omnibus Law ini menurut Shinta juga mengancam jurnalisme warga dan media alternatif lainnya. Shinta menjelaskan RUU ini mengharuskan perusahaan pers untuk mendaftarkan dirinya sebagai perusahaan pers berbadan hukum.
Apabila hal ini dilakukan, maka Shinta menerangkan penguasa telah bertindak otoriter sebab berpotensi membungkam kritik media alternatif yang tidak berbadan hukum. “Padahal, keberadaan media alternatif ini, diperlukan untuk mendukung iklim demokrasi di Indonesia,” tutur Shinta.