REPUBLIKA.CO.ID, PANGKAL PINANG – Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir menjadi pembicara di sesi pleno Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-VII.
Dia menjelaskan tentang pemberdayaan ekonomi umat Islam atau ekonomi bumi putra. "Umat Islam harus naik kelas secara ekonomi dari kasta bawah ke menengah dan atas," kata Haedar saat menjadi narasumber pada sesi pleno KUII di Hotel Novotel, Bangka Belitung, Kamis (27/2).
Dia mengatakan, ekonomi Islam atau ekonomi syariah semestinya berbanding lurus untuk mengangkat martabat ekonomi umat yang masih dhuafa. Jadi ekonomi syariah tidak berhenti pada kemegahan konsep tanpa fungsional secara signifikan pada penguatan ekonomi umat secara progresif.
Menurutnya, dari ekonomi Islam semestinya tumbuh kegiatan-kegiatan ekonomi dan bisnis umat, menggairahkan kewirausahaan, memperbanyak pengusaha atau saudagar dan manajer-manajer Muslim. Sehingga ke depan bisa melahirkan para konglomerat Muslim papan atas.
"Menurut Pak Jusuf Kalla, kegiatan bisnis seperti belajar berenang, jangan banyak teori tetapi langsung praktik, bagaimana ekonomi Islam membumi menjadi praktik ekonomi yang maju," ujar Haedar.
Menurut dia, umat Islam harus memiliki kekuatan ekonomi. Pepatah Arab menyatakan faaqid asysyai’ laa yu'thi, pihak yang tidak memiliki sesuatu maka tidak mungkin memberi sesuatu. Umat Islam harus memiliki kekuatan ekonomi.
"Tangan di atas (yad al-‘ulya) dan tidak tangan di bawah (yad al-sufla), dalam teori oligarki politik Jeffry Winters, siapa yang menguasai sumber daya ekonomi maka merekalah yang menguasai politik dan negara," kata Haedar saat menjadi narasumber pada sesi pleno KUII di Hotel Novotel, Bangka Belitung, Kamis (27/2).
Dia mengungkapkan, mana mungkin umat Islam Indonesia dapat mengekspor Islam Rahmatan lil alamin atau Islam moderat ala Indonesia ke mancanegara, jika di negeri sendiri masih dhuafa secara ekonomi, mentalitas, ilmu pengetahuan dan teknologi yang tangannya masih di bawah.
Di negeri sendiri boleh jadi belum menjelma menjadi fa'il dan lebih banyak menjadi maf'ul-bih. Umat Islam meski mayoritas secara jumlah tetapi minoritas secara kualitas. Salah satu faktor dan kelemahan utamanya adalah dhuafa dalam ekonomi.
Haedar mengutip pernyataan mantan wakil presiden Jusuf Kalla di sejumlah kesempatan, dari 100 orang kaya hanya sekitar sepuluh orang Islam. "Sebaliknya dari 100 orang miskin terdapat 90 orang Islam, umat Islam tidak akan kuat secara politik dan budaya maupun peran strategis lainnya jika lemah secara ekonomi," ujarnya.