REPUBLIKA.CO.ID, Dumiatih (63 tahun) hanya bisa pasrah membersihkan rumah dan sebagian perabotan yang rusak akibat banjir sejak Ahad (23/2) lalu. Rasa kecewa atas musibah banjir pertamanya itu, tak bisa ia tutupi dari raut wajahnya, apalagi ketika keluarga dan tetangganya sama sekali tak punya pemikiran untuk kebanjiran.
“Dulu saya kasian kalau lihat yang kebanjiran di televisi, sekarang malah kita yang kebanjiran,” ujar dia ketika ditemui Republika, sambil mengeluh di pekarangan rumahnya di Tambun Rengas, Cakung, Jakarta Timur, Rabu (26/2) lalu.
Dia membandingkan, hujan kali ini lebih parah daripada tahun-tahun sebelumnya. Dia menyebut, tak pernah sekalipun terjadi banjir. Namun, pada Ahad (23/2) lalu, curah hujan yang mengguyur Jakarta ia sebut menyebabkan banjir, meski hujan tak lebih parah dari dahulu.
Hal itu semakin ia sesalkan, tatkala kiriman banjir yang mulai surut pada Senin (24/2) itu, disusul banjir lainnya yang datang pada Selasa (25/2). Menurut dia, barang-barang pribadi yang awalnya telah dibersihkan, kembali kotor, bahkan tak jarang mengalami kerusakan.
“Baru beres sedikit, air datang lagi. Televisi, mesin cuci sampai kompor ngambang semua. Kitab Alquran juga pada basah tuh,” kata dia sambil menoleh ke pekarangannya yang penuh barang rusak.
Dumiatih menyebut, banjir yang dialaminya dan beberapa RW lain di sekitarnya, tak lain karena adanya pengembang pembuat perumahan elite dan mal baru di dekat permukimannya. Dia menuding, kompleks Jakarta Garden City (JGC) tak memiliki tanggung jawab untuk membuat saluran pembuangan air.
Kakek dengan 12 cucu itu menuturkan, pada awalnya wilayah JGC merupakan daerah resapan air, terlebih dengan adanya waduk dan kontur tanah di sana yang mendukungnya. Namun, seiring dibuatnya perumahan elite dan mal, pengembang dinilainya tak bertanggung jawab dengan tak membuat saluran air yang jelas. “Belum pernah banjir sebelumnya, baru pas ada JGC saja,” kata dia.
Dia beranggapan, jika ada hujan, baik itu dengan curah kecil maupun besar, dirinya dan warga lain langsung merasa awas. Pasalnya, kondisi yang tak menguntungkannya itu, semakin diperparah dengan tak ada kejelasan dari pihak terkait.
Dari pantauan Republika di Tambun Rengas, Kampung Kandang Sapi, dan Rorotan, mayoritas warga memang terlihat menjemur kasur, pakaian, hingga buku dan kitab. Bahkan, bengkel sekitar juga terlihat dipenuhi motor yang hilir mudik untuk diperbaiki karena banjir.
Di beberapa lokasi, genangan air setinggi lima hingga 10 sentimeter juga masih terlihat. Ketika ditanya terkait kerusuhan di JGC pada Selasa (25/2) Dumiatih tak menampiknya. Bahkan, ia mengaku, pada awalnya, ia dan para tetangga berniat untuk ikut berunjuk rasa ke pihak pengembang.
“Tapi, karena alasan tertentu, enggak jadi kami ke sana. Itu spontanitas saja, pas liat ada warga yang ke sana, saya dan yang lain tadinya juga mau ikut,” kata dia.
Dia mengatakan, di wilayahnya, Tambun Rengas, tak ada yang ikut unjuk rasa, apalagi berbuat kerusuhan di mal. Dia menambahkan, mayoritas warga yang melakukan unjuk rasa dan kerusuhan di mal Aeon JGC sebelumnya, merupakan warga Kandang Sapi dan Rorotan.
“Warga sini enggak ikut, biarpun efek banjir paling parah ada di sini,” kata dia.
Saleh (34 tahun), warga Kampung Kandang Sapi juga menyatakan rasa kekecewaanya karena banjir yang menggenangi rumahnya itu. Menurut dia, banjir pada Ahad (23/2) lalu memang bukan yang pertama kalinya meskipun dalam tahun-tahun sebelumnya tak pernah ada banjir.
“Awal banjir pas tahun baru kemarin itu, pasnya sih waktu pengembang buat perumahan sama mal di sana,” ujar dia menunjuk ke arah JGC sambil mendorong motornya yang mogok karena banjir.
Sementara itu, pihak Public Realtion Mal Aeon JGC belum memberikan tanggapannya kepada Republika. Mal yang baru diresmikan pada 30 September 2017 itu nyatanya menjadi mal AEON kedua di Indonesia, setelah lokasi pertama yang ada di BSD.
Berdasarkan informasi, pusat belanja ritel asal Jepang itu, mendirikan bangunan di atas lahan 8,5 ha, dan berada di area perumahan elite, Jakarta Garden City. Untuk wilayah perumahan mandiri JGC, disebut memiliki luas tanah sekitar 370 hektare. Proyek yang mulai digarap sejak 2007 oleh PT Modernland Reality, disebut menjadi kota mandiri terluas di Jakarta Timur.