Jumat 28 Feb 2020 08:42 WIB

CIPS: Pemerintah Perlu Upaya Perdagangan Lebih Efektif

Pemerintah bisa mendorong efisiensi industri dan meningkatkan kecepatan produksi.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Pertumbuhan ekonomi (ilustrasi)
Foto: Republika.co.id
Pertumbuhan ekonomi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BADUNG -- Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ira Aprilianti menilai, Indonesia perlu menerapkan langkah strategis dan upaya perdagangan yang lebih efektif setelah dikeluarkan dari daftar negara berkembang oleh Amerika Serikat. Salah satunya, meminimalkan dampak negatif dari kebijakan Amerika Serikat ini. Hal ini dapat dilakukan dengan mendorong efisiensi pelaku industri Tanah Air dan meningkatkan kecepatan produksi.

"Misalnya dengan mengadopsi permesinan yang mendukung produksi dengan skala lebih besar dan biaya produksi lebih rendah," kata Ira dalam rilis, Kamis (27/2). 

Selanjutnya, Ira menambahkan, pemerintah perlu membuka keran impor bahan baku dan mesin untuk industri ketika substitusi impor sulit dilakukan. Cina, Belanda, dan Jerman mempunyai industri yang menyediakan permesinan dengan kualitas dan biaya kompetitif.

Kebijakan pemerintah untuk membebaskan bea masuk permesinan sudah tepat. Kebijakan ini harus dipertimbangkan pada produk bahan baku yang tidak mencukupi diproduksi secara domestik, sehingga industri tidak mengalami bottleneck. 

Ketiga, pemerintah juga perlu mengurangi subsidi sektoral atau berdasarkan jenis produk. Ira mengatakan, pemerintah harus berfokus pada peningkatan infrastruktur yang menyeluruh untuk produksi industri secara keseluruhan.

"Seperti infrastruktur jalan, logistik, energi, dan kemudahan persyaratan izin berusaha bagi pelaku usaha," tuturnya. 

Diketahui, AS mengevaluasi kriteria negara berkembang yang berhak mendapatkan fasilitas de minimis atau batas dari pengenaan bea masuk antisubsidi (BMAS) atau countervailing duties (CVD) sebesar dua persen. 

Berdasarkan kriteria baru itu, AS mengeluarkan 15 negara berkembang dari fasilitas tersebut.  Di antaranya Indonesia, Argentina, Brasil, Thailand, dan India, Keanggotaan pada G-20 dan kontribusi negara-negara itu pada lebih dari 0,5 persen perdagangan dunia menjadi alasan utama kebijakan AS. 

Ira menyebutkan, CVD sebenarnya tidak akan dirasakan ke semua sektor. Salah satunya, tekstil dan produk tekstil (TPT). 

Berdasarkan data Trademap yang dikutip Ira, produk ekspor utama Indonesia ke AS adalah pakaian dan aksesoris pakaian (tidak dirajut dan dirajut (pakaian jadi)). Total nilainya sebesar 4,504 miliar dolar AS pada 2018. 

Sedangkan, AS hanya mampu memenuhi tiga persen konsumsi dari industri domestiknya. Amerika Serikat merupakan importir pakaian terbesar di dunia dan Indonesia merupakan eksportir pakaian jadi ke-13 di dunia pada 2018.

Dalam hal ini, lanjut Ira, Indonesia tidak perlu mengkhawatirkan dampak pada sektor TPT. Sebab, industri pakaian Indonesia sudah cukup matang dan tidak bergantung pada subsidi pemerintah. "Sehingga, pengeluaran Indonesia dari daftar pengecualian CVD tidak akan terlalu berpengaruh pada komoditas pakaian," katanya.

Namun, Ira menyebutkan, akan lebih baik apabila Indonesia bersiap untuk mengekspor di luar negara tujuan ekspor tradisional. Misal, Australia yang sudah memiliki (Indonesia Australia-Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA). Selain itu, industri pakaian domestik mereka sedang melemah, sehingga mereka mempunyai proporsi impor cukup tinggi dan meningkat setiap tahunnya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement