REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah diminta tidak mempolitisasi sektor transportasi, terutama penerbangan yang merupakan jasa angkutan berisiko sangat tinggi (high risk). Hal ini karena membahayakan keselamatan nyawa publik.
Investigator senior Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Bambang Haryo Soekartono, menilai politisasi transportasi oleh pemerintah selama ini, antara lain terlihat dari pemberhentian Ari Ashkara, sebagai direktur utama Garuda Indonesia beberapa waktu lalu.
“Garuda sebenarnya sudah dikelola dengan baik oleh Ari Ashkara sebab dia berhasil membuat Garuda untung Rp1,7 triliun per September 2019, setelah sebelumnya merugi hampir Rp 5 triliun pada 2017-2018. Padahal kondisi penerbangan pada 2019 cukup berat karena terjadi penurunan demand,” kata anggota DPR RI periode 2014-2019, Sabtu (29/2).
Dia menilai Ari telah mengelola perusahaan transportasi secara profesional sebab selama kepemimpinannya Garuda berhasil mencatatkan keuntungan.
Menurut Bambang, kondisi pada 2019 setelah September telah terjadi penurunan standarisasi pelayanan transportasi udara akibat politisasi transportasi oleh pemerintah yang mendesak tarif diturunkan.
Akibatnya, terjadi lagi pembiaran perang tarif oleh maskapai nasional dan pemberian insentif ke sektor penerbangan yang terlalu dipaksakan. “Padahal penerbangan merupakan transportasi dengan mayoritas pengguna kalangan menengah ke atas,” ujarnya.
Di sisi lain, pemerintah sangat kurang memperhatikan transportasi untuk kalangan menengah bawah yaitu angkutan laut dan angkutan darat bus dan truk, yang berkontribusi lebih dari 90 persen terhadap total angkutan logistik dan penumpang di Indonesia.
“Sektor maritim juga merupakan jargon pemerintahan Jokowi, tetapi mengapa justru sangat kurang diperhatikan oleh Pemerintah?” ungkapnya.
Pengguna jasa penerbangan dikhawatirkan selalu dibayangi ancaman keselamatan dan buruknya pelayanan apabila pemerintah membiarkan perang tarif yang mengakibatkan maskapai mengalami kerugian besar.
Apalagi, kata dia, kebutuhan operasional semakin tinggi, seperti biaya suku cadang akibat kenaikan nilai dolar AS hingga 60 persen sejak 2012 dan biaya lainnya.
Bambang Haryo mengatakan kondisi dunia penerbangan kesulitan akibat kebijakan Pemerintah. Sebagai contoh, pesawat sering holding atau berputar-putar di udara sebelum mendarat dan antre sebelum terbang sehingga jadwal penerbangan menjadi lebih lama 30 persen-50 persen.
Akibatnya, konsumsi avtur meningkat dan biaya operasional maskapai bengkak. Selain itu buruknya pengaturan jadwal take-off dan landing serta kurangnya infrastruktur pendukung
Faktor lain, tidak ada terminal LCC (low cost carrier) sehingga pesawat LCC harus menggunakan fasilitas terminal full service dengan biaya lebih mahal, serta lonjakan biaya perawatan pesawat (MRO).
Menurut dia, persoalan klasik adalah mahalnya biaya birokrasi sehingga menyulitkan maskapai. Semua persoalan itu menimbulkan ekonomi biaya tinggi, keuntungan berkurang, sehingga beberapa maskapai harus melanggar standar pelayanan minimum yang dikhawatirkan mendorong manipulasi standarisasi keselamatan.
“Saya membuktikan sendiri seperti di beberapa maskapai tidak memenuhi standar, seperti kabin dan lavatory kotor, tidak tersedia air sickness bag, instruksi keselamatan rusak, tidak ada majalah atau surat kabar, dan bahkan tidak ada media hiburan di pesawat full service,” ungkapnya.
Dia mengatakan, apabila kondisi itu dibiarkan bisa membahayakan nyawa publik dan menggerus standarisasi keselamatan dan kenyamanan penumpang sesuai PM No 185 Tahun 2015 dan melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
“Apakah pemerintah akan membiarkan maskapai mengalami kerugian dalam melayani transportasi masyarakat? Padahal penerbangan adalah transportasi yang high risk,” ujar Bambang Haryo yang juga Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Jawa Timur ini.
Dia mempertanyakan fungsi pemerintah sebagai regulator, khususnya Kementerian Perhubungan. Dia mengingatkan kembali agar Kemenhub harus mampu mengendalikan maskapai agar tidak terjebak perang tarif sehingga mengancam keselamatan nyawa publik.