REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG - Kampanye terkait kekerasan kepada anak dan perempuan melalui dunia seni perfilman dinilai cukup strategis untuk digunakan. Pandangan ini disampaikan aktivis lembaga advokasi perempuan DAMAR.
"Kami merasa ini adalah metode baru yang dapat menjadi pintu masuk terkait isu perempuan, yang selama ini hanya melalui media diskusi dan dialog antar komunitas," kata aktifis perempuan DAMAR, Ana Yunita Pratiwi, Ahad (1/3).
Ia pun mengharapkan insan perfilman khususnya di Provinsi Lampung ke depannya dapat lebih mengangkat isu perempuan. Menurut Ana kenyataannya saat ini kaum perempuan di Indonesia banyak mengalami kekerasan baik secara fisik maupun mental tanpa disadari. Ini karena tidak adanya kampanye yang masif dalam memberi pendidikan dan pengetahuan terkait isu ini.
Selain itu, realitas di negara ini banyak orang juga menganggap perempuan sebagai objek seksualitas yang memiliki nilai jual tinggi. Akibatnya banyak perusahaan mengeksploitasi perempuan demi keuntungan mereka.
"Kita contohkan banyak industri yang menggunakan wanita dengan pakaian seksi baik untuk promosi dan lainnya padahal hal tersebut dapat dikerjakan oleh laki-laki," jelasnya.
Praktisi perfilman Dede Safara mengungkapkan isu-isu feminisme merupakan isu yang sangat seksi untuk bisa diangkat oleh komunitas-komunitas film pendek maupun panjang yang ada di manapun. Jika ingin mengemas isu perempuan menjadi sebuah film, sineas di Lampung harus cermat dan jeli mencari isunya. Sineas dapat menyajikan gambar-gambar yang menginformasikan bahwa perempuan adalah objek kekerasan.
"Tentunya selain tujuan kita mengkampanyekan isu perempuan kita juga akan mencoba masuk ke dalam festival film nasional maupun internasional sebagaimana film-film Indonesia yang dapat pengakuan di dunia internasional terkait isu feminisme ini," jelasnya.