REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perekonomian global mulai gonjang0ganjing sejak akhir Januari 2020 karena kemunculan virus corona baru atau Covid-19. Padahal, sebelumnya para ekonom dan sivitas global sangat optimistis pada perkembangan tahun 2020.
"Perkonomian global awal 2020 cukup optimistis setelah tradewar berlalu. Gairah untuk memulai 2020 itu ada," kata Direktur Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia, I Gusti Putu Wira Kusuma, di Bandung, akhir pekan kemarin.
Perang dagang yang selama ini menghambat pertumbuhan telah menemui kesepatan sehingga menjadi sentimen positif bagi perkembangan ekonomi tahun 2020. Beberapa indikator pertumbuhan juga sudah mulai membaik.
Seperti Purchasing Manager Index (PMI), perkembangan harga minyak, volume perdagangan dunia, perbaikan harga komoditas pada awal 2020 mulai meningkat. "Kemudian, sayang sekali ada sudden shock, Covid-19 mulai mencuat," katanya.
Merebaknya wabah dalam waktu singkat hingga membawa kematian dalam jumlah signifikan membuat China hampir lumpuh. Pabrik-pabrik ditutup. Produksi, ekspor, dan impor China terganggu. Covid-19 memperlambat ekonomi China.
Tekanan sangat dirasakan ekonomi China, terlihat di pasar saham yang memerah padaawal perdagangan. Mobilitas di perkotaan di bawah rata-rata, konsumsi di batu bara menurun, penjualan properti juga di bawah historis, dan penjualan kendaraan terus merosot.
Apa yang terjadi di China ini kemudian berimbas kepada ekonomi global karena peran China yang sangat besar. Menurut pangsa global trade beberapa negara, China dahulu hanya menempati porsi keenam di 4,8 persen pada tahun 2000.
Pada 2018, pangsa terhadap total perdagangan global China sudah mencapai posisi pertama sebesar 12,3 persen. Hal ini diikuti oleh AS sebesar 10,8 persen, Jerman sebesar 7,2 persen, Jepang dengan 3,9 persen, dan Belanda dengan 3,3 persen. Indonesia berada di posisi 28 dengan pangsa 1 persen.
Menurut Survei Amcham, output menurun dipengaruhi penurunan permintaan dan gangguan rantai pasokan karena kekurangan tenaga kerja. Survei melibatkan 109 perusahaan Amerika dengan periode survei 11-14 Februari 2020.
Hasilnya, sebesar 48 persen produksi global sudah terdampak Covid-19. Terjadi 58 persen penurunan permintaan. Sebesar 78 persen responden melaporkan kekurangan staf, sementara 30 persen mengalami kendala logistik.
Maka dari itu, BI merevisi pertumbuhan ekonomi dunia dalam penilaian terbaru, dari awalnya 3,1 persen menjadi 3,0 persen karena pengaruh Covid-19. Sejumlah negara telah merespons dengan penurunan suku bunga dan program-program pelonggaran likuiditas pasar.
"Dengan adanya Covid-19 dan ketidakpastian yang semakin meningkat maka terjadi capital outflow dari negara berkembang ke negara asalnya atau ke instrumen yang lebih aman," katanya.