Senin 02 Mar 2020 20:40 WIB

Karhutla Tanda Upaya Restorasi Belum Maksimal

Karhutla langsung terjadi setelah musim hujan belum lama berakhir di lahan gambut.

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Ratna Puspita
Kebakaran hutan dan lahan (ilustrasi)
Foto: Antara/FB Anggoro
Kebakaran hutan dan lahan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Manajer Kampanye Eksekutif Nasional Walhi Wahyu Perdana mengatakan terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di sejumlah wilayah di Sumatra terjadi karena upaya restorasi yang tidak berjalan dengan baik. Sebab, karhutla langsung terjadi setelah musim hujan belum lama berakhir di lahan-lahan gambut. 

"Sebenarnya itu menunjukkan bahwa upaya restorasi ekosistem rawa gambutnya itu tidak berjalan dengan baik. Ketika pascamusim hujan sebentar masih bisa terjadi lagi kebakaran. Nah, itu catatan umumnya kurang lebihnya begitu," kata Wahyu, dihubungi Republika, Senin (2/3). 

Baca Juga

Wahyu menuturkan, sebelumnya Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah mengingatkan sejak sebelum masuk musim hujan, akan terjadi anomali cuaca. Pada wilayah tertentu di Indonesia juga akan terjadi musim kemarau yang cukup intens. 

"Jadi pascamusim hujan ini ada kemungkinan begitu berdasarkan analisis cuacanya," kata Wahyu. 

Perubahan iklim secara global memang mempengaruhi musim yang terjadi di dunia termasuk Indonesia. Namun, mestinya tidak terjadi karhutla dengan cepat. Sebab, ia menjelaskan, ekosistem alami gambut seharusnya bisa menyimpan air. 

Jika ekosistem rawa gambut berjalan tanpa masalah dan fungsi lingkungan hidupnya terjaga maka kecil kemungkinan untuk begitu mudahnya terbakar. Hal ini disebabkan, berdasarkan sifat alaminya, gambut adalah lahan rawa basah. 

Namun, saat ini lahan gambut banyak dibuat kanal untuk mengeringkan untuk berbagai macam kepentingan konsesi. Baik itu konsesi pembukaan perkebunan atau berbagai hal yang ujungnya merusak fungsi alami lahan gambut. Oleh sebab itu, kebakaran berulang akan terus terjadi. 

Wahyu melanjutkan, saat ini evaluasi perizinan menjadi sangat penting. "Itu dalam pandangan kami, bahwa upaya pencegahan mitigasi perubahan iklim, upaya restorasinya, dan evaluasi perizinannya menjadi penting. Sepanjang itu tidak dilakukan maka (kebakaran) akan terus terjadi," ujar Wahyu. 

Walhi mendorong agar upaya restorasi terus diupayakan oleh pihak yang berwenang. Selain itu, meninjau kembali perizinan penggunaan lahan harus dilakukan. Apabila lahan yang terbakar adalah milik konsesi, maka harusnya izinnya dicabut. "Tapi kan tidak dilakukan demikian," kata dia lagi. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement