REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Laporan yang dirilis lembaga think tank Australia mengatakan puluhan ribu masyarakat etnik Uighur yang bekerja dalam kondisi 'kerja paksa' di pabrik-pabrik di seluruh China. Mereka memasok barang ke 83 merek terkenal di seluruh dunia.
Laporan Australian Strategic Policy Institute (ASPI) ini mengutip dokumen pemerintah dan laporan media setempat. Mereka mengidentifikasi jaringan 27 pabrik di sembilan provinsi di China yang menjadi tempat lebih dari 80 ribu warga Uighur dipaksa bekerja.
"Di bawah kondisi yang sangat mengindikasi adanya kerja paksa, warga Uighur bekerja di pabrik-pabrik yang memasok setidaknya 83 merek terkenal di sektor teknologi, pakaian dan otomotif, termasuk Apple, BMW, Gap, Huawei, Nike, Samsung, Sony dan Volkswagen," kata ASPI dalam laporan mereka, Senin (2/3).
Dalam laporannya ASPI mengatakan pemindahan pekerja ke pabrik-pabrik itu bagian dari program yang disponsori pemerintah. Mereka mengatakan program ini membuat hidup para pekerja 'sangat sulit dan terpisahkan'.
Mereka dilarang melaksanakan praktik keagamaan dan dipaksa berpartisipasi dalam kelas bahasa Mandarin. Mereka juga mengatakan para warga Uighur dipasangi alat pelacak elektronik dan dilarang pulang ke Xinjiang.
Pemerintah China sudah membantah laporan tersebut. Kementerian Luar Negeri China mengatakan laporan pemerintah telah melanggar hak asasi Uighur tidak benar.
"Laporan ini hanya mengikuti pasukan anti-China dari Amerika Serikat (AS) untuk mencoba mencoreng langkah-langkah anti-terorisme China di Xinjiang," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China Zhou Lijian.
PBB memperkirakan dalam satu tahun terakhir ini ada lebih dari satu juta minoritas muslim Uighur yang ditahan di kamp-kamp yang disebut sebagai pusat vokasi di Xinjiang. Penahanan itu bagian dari langkah anti-terorisme China.
Penahanan massal memicu kritikan dari pemerintah luar negeri dan berbagai kelompok hak asasi manusia. Mereka mengatakan penahanan sewenang-wenang melanggar hak asasi manusia.
China membantah kamp-kamp tersebut melanggar hak asasi warga Uighur. Beijing menegaskan kamp-kamp tersebut dirancang untuk membinasakan terorisme dan memberikan keterampilan.
"Semua orang yang belajar di pusat-pusat vokasi sudah lulus dan dengan bantuan pemerintah mereka sudah dipekerjakan, kini mereka hidup bahagia," kata Zhou.