REPUBLIKA.CO.ID Perjalanan spiritual Abu Hamid Al Ghazali menempuh jalan sufi cukup berliku. Al Ghazali mengakui, perjalanannya menempuh jalur sufi itu memerlukan waktu yang sangat panjang, termasuk dalam menelusuri berbagai macam aliran yang mengklaim diri mereka paling benar.
Hampir setengah dari usianya, dia habiskan untuk mencari dan menyelidiki semua aliran yang berkembang itu. Dalam Al Munqidz Min Ad Dlalal, dia mengungkapkan kisahnya itu. ''Sejak muda, kurang dari 20 tahun hingga lebih dari 50 tahun kini, tidak hentinya aku menyelami samudra luas ini. Aku selidiki setiap kepercayaan, aku dalam setiap mazhab, dan aku kaji setiap ajaran untuk membuktikan mana yang benar; Bathiniyyah, Zhahiriyyah, kalam, filsafat, dan tasawuf. Tidak ketinggalan pula kaum Zindiq dan Mu'athil.''
Dari semua aliran, kepercayaan, dan mazhab itu, sampailah dia pada kesimpulan bahwa jalan tasawuf adalah jalan yang 'paling benar' dalam menggapai kebahagiaan hakiki. Yang dimaksudkannya dengan 'paling benar' adalah jalan yang ditempuh sufi dengan jalan pengalaman atau merasakan lezatnya beragama, menikmati pertemuan, dan kedekatan dengan Allah SWT.
''Tidak seperti ahli kalam yang berkutat seputar kata dan logika dalam membuktikan adanya Allah. Padahal, kehadiran-Nya bisa kita rasakan dan kita lihat. Bukan dengan perangkat indra ataupun logika nalar, tapi dengan perangkat batin yang dinamakan Dzawq, setelah diasah terlebih dahulu melalui pengolahan batin,'' ujarnya.
Dalam Ensiklopedia Tasawuf Imam Al Ghazali, disebutkan, dzawq adalah rasa yang bersifat fisik, tetapi dalam istilah tasawuf, dzawq mengandung pengertian pengalaman kebenaran secara langsung. Dalam konteks ini, dzawq mengandung pengertian sama dengan pemikiran atau kebijaksanaan yang berasal dari bahasa Latin sapere yang utamanya bermakna merasakan, dan mengalami perluasan makna membedakan dan mengenali. Menurut Muhammad Sholihin, dalam bukunya Sufisme dalam Islam, dzawq juga bermakna kenikmatan, yakni nikmatnya berdekatan dengan Allah melalui pengalaman batin.
Dalam istilah ini, Sholihin menyamakan dzawq dengan extase. Perlu diketahui, sebelum menjadi sufi, Al Ghazali adalah seorang guru besar di Universitas Nizamiyah. Dia juga pemikir, filsuf, ahli kalam, ahli fikih, dan ilmu-ilmu yang lainnya.
Dan justru, karena ilmu-ilmu itu tidak memberikan manfaat terhadap batinnya, maka Al Ghazali memutuskan untuk mempraktikkan ilmunya itu dengan jalan meninggalkan seluruh aktivitasnya untuk beribadah kepada Allah SWT dan melakukan uzlah. Dan setelah menulis kitab besar yang di beri nama Ihya' Ulum Ad Din, Al Ghazali pernah melakukan uzlah selama 120 hari, pada saat itulah beliau mendapatkan ilmu kasyf yang terkenal itu.
Menurut pengakuannya, dalam pengalaman tasawuf itu, Al Ghazali memperoleh secara langsung (kasyf) ilmu-ilmu yang tidak terhingga, meskipun dia tidak menunjukkan secara tegas ilmu yang diperoleh itu. Adapun kejadian uzlah-nya (menyendiri, Red) itu, secara detail diungkap sendiri oleh Al Ghazali dalam Al Munqidz min Ad Dlalal bab Thuruq Al Shufiyah.
''Lalu kualihkan tatapanku ke jalan para sufi. Kuketahui dia tak dapat dilintasi ke ujungnya tanpa ajaran dan amalannya. Dan bahwasanya inti ajarannya terletak pada pengendalian nafsu badaniah dan keberhasilan dalam membersihkan watak-watak jahat dan sifat-sifat keji, hingga hati bersih dari segalanya kecuali Allah. Dan makna pembersihan ini adalah makna zikrullah, yakni mengingat Allah dan mencurahkan segala pikiran pada-Nya. Bagiku kini ajarannya lebih mudah ketimbang amalan-amalannya, maka mulailah kupelajari ajaran mereka dari berbagai kitab dan tuturan para syekh mereka, hingga kuperoleh jalan mereka dengan belajar dan menyimak, dan dengan jelas kulihat bahwa hal-hal paling ganjil pada mereka tak dapat dipelajari, melainkan melalui pengalaman, ekstasi, dan perubahan batiniah. Yakinlah aku bahwa kini telah kuperoleh semua pengetahuan tasawuf yang bisa dicapai melalui belajar. Selebihnya, tiada jalan kepadanya melainkan dengan mengikuti kehidupan para sufi.
Setelah itu, kulihat diriku sebagaimana adanya. Segenap pamrih duniawi melanda diriku. Bahkan, pekerjaanku sebagai guru pun, suatu amalan yang terbaik, tampak sia-sia dan tiada manfaat ukhrawi, manakala kuperhatikan tujuannya aku melakukan semua itu bukan demi Allah, tetapi untuk kemegahan dan reputasi. Kusadari bahwa diriku berada di tepi jurang dan nyaris jatuh ke dalam api neraka jika tak segera kuperbaiki jalan-jalanku. Sadar akan ketakberdayaan, seraya mengerahkan segenap kemauan, kucari perlindungan kepada Allah, ibarat orang dilanda kesulitan tanpa berdaya lagi. Allah mengabulkan doaku, dan memudahkan aku berpaling dari kemasyhuran, kekayaan, istri, anak-anak, dan sahabat.''