Rabu 04 Mar 2020 16:27 WIB

Pemohon Minta Hakim MK Hadirkan Presiden Jokowi di Sidang

Perwakilan presiden dinilai tak bisa menjawab pernyataan hakim soal UU KPK.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Teguh Firmansyah
Saksi ahli yang merupakan pakar hukum tata negara Universitas Padjajaran Susi Dwi Harijanti (tengah) menyampaikan pendapatnya pada sidang uji formil atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (4/3/2020).
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Saksi ahli yang merupakan pakar hukum tata negara Universitas Padjajaran Susi Dwi Harijanti (tengah) menyampaikan pendapatnya pada sidang uji formil atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (4/3/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kuasa hukum pemohon uji materi Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Mahkamah Konstitusi (MK) kembali meminta Presiden Joko Widodo dihadirkan dalam sidang. Pasalnya perwakilan dari pemerintah tidak bisa menjawab banyak pertanyaan yang dilayangkan Majelis Hakim Konstitusi.

"Kami ingin mengingatkan Yang Mulia Mahkamah Konstitusi tentang permohonan kami untuk menghadirkan Presiden," ujar Asfinawati, salah satu kuasa hukum pemohon, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (4/3).

Baca Juga

Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia itu mengatakan, pada sidang yang lalu, perwakilan dari pemerintah tidak bisa menjawab banyak pertanyaan yang diajukan oleh Majelis Hakim Konstitusi. Atas dasar itulah pihaknya meminta Jokowi dihadirkan di dalam persidangan. "Karena itu kami meminta agar Mahkamah Konstitusi dapat meghadirkan Presiden karena kami tidak mungkin melakukannya," jelas dia.

Ketua MK, Anwar Usman, menyatakan akan mencatat permohonan tersebut dan akan membahasnya di Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Sidang uji materi UU Nomor 19 Tahun 2019 ditunda dan akan dilanjutkan pada Senin (16/3) mendatang.

"Sidang ditunda hari Senin, 16 maret 2020 jam 10.00 WIB dengan agenda mendengar keterangan dua ahli," kata dia.

Sebelumnya, mantan pimpinan KPK, Agus Rahardjo, Laode M. Syarif, Saut Situmorang, dan sejumlah pegiat antikorupsi meminta MK menghadirkan Presiden Joko Widodo di persidangan. Presiden diminta untuk memberikan keterangan terkait perkara uji formil revisi UU KPK.

"Apakah memungkinkan perkara nomor 79 meminta Mahkamah menghadirkan presiden di ruangan ini karena banyak persoalan yang saya rasa tidak bisa dijawab perwakilan dan harus dijawab Presiden langsung," ujar kuasa mantan pimpinan KPK dan pegiat antikorupsi, Kurnia Ramadhana, dalam sidang di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (19/2).

Dalam kesempatan tersebut, ahli yang dihadirkan pemohon, akademisi hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Muchtar pun menuturkan menteri tidak dapat mengaku sebagai presiden. Apalagi dalam tahapan persetujuan Rancangan Undang-Undang.

Ia mengaku ragu Presiden Jokowi mengetahui hal-hal yang terjadi dalam proses pembahasan hingga pengesahan karena diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.

"Makanya menurut saya, dipanggil, didengar keterangannya apa sebab musabab Presiden tidak menandatangani. Harusnya ada penjelasan itu, apa karena tidak setuju isinya, atau kalau, misalnya, aspirasi masyarakat menolak tidak menandatangani?" ujar Zainal.

Menanggapi permintaan tersebut, Ketua MK Anwar Usman menuturkan keputusan mengundang Presiden Jokowi ke dalam sidang akan ditentukan dalam rapat permusyawarahan hakim (RPH).

"Yang diminta hadir sebenarnya Presiden, tetapi sudah dikuasakan. Menurut undang-undang bisa memberi kuasa kepada menterinya. Usulan tambahan kuasa pemohon akan dirapatkan lagi dalam RPH nanti, lihat urgensinya," tutur anwar Usman.

Adapun pemohon dalam permohonannya mempertanyakan keabsahan secara prosedural pembentukan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Para pemohon menilai pembentukan UU KPK tidak sesuai dengan asas pembentukan perundang-undangan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement