REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi membantah meminta sangu (uang saku) dari anak buah untuk kebutuhannya berhaji. Hal itu disampaikan Imam membantah kesaksian Sesmenpora Gatot S Dewa Broto.
"Bapak sangat baik sekali, karena baiknya soal haji saya sudah 7 tahun saya mengantri Pak, itu pakai haji jalur umum, bukan ranah menteri sebenarnya kalau menteri bisa jalur khusus," kata Imam Nahrawi di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (4/3).
Imam berbicara untuk membantah kesaksian Sekretaris Menpora Gatot S Dewa Broto yang mengatakan bahwa ia pernah didatangi oleh pegawai Kemenpora Sinyo dan Agus Prayitno yang meminta uang sangu untuk perjalanan haji Imam Nahrawi. "Saya mendapat keluhan Pak Sinyo yang mendapat pesan dari internal Pak Imam bahwa untuk rencana naik haji 2019 tidak ada bantuan kontribusi dari kantor. Sinyo itu Kepala Bagian Perlengkapan," ujar Gatot sebelumnya.
Gatot mengaku menerima pesan dari Agus Prayitno karena Imam belum menerima sangu untuk naik haji. "Pak Agus itu kepala bagian tata usaha Sesmenpora. Pak Agus menyampaikan keluhan Pak Imam kepada Pak Sinyo, saya dengar dari Pak Sinyo," ungkap Gatot.
Padahal, Imam mengaku ia dan istrinya Shobibah Rohmah sudah mengantri selama 7 tahun untuk naik haji.
"Tapi saya lakukan dengan istri berhaji itu mengantri 7 tahun dan kemudian bapak memberikan kesaksian di BAP ini seakan-akan saya minta sangu, tidak bapak. Tolong jangan nodai masalah haji karena saya di situ betul-betul haji dengan istri yang sudah menunggu 7 tahun dan saya terus terang saya minta saudara Sinyo dan Agus Prayitno untuk dihadirkan karena terus terang ini sangat mengganggu batin saya," kata Imam lirih.
Imam bahkan mengaku menolak ajakan berhaji yang dilakukan menteri-menteri lainnya. "Saya haji itu bertemu dengan menteri agama, dia tanya, kenapa enggak ikut rombongan menteri-menteri yang di Istana Negara? Saya bilang saya akan menemani ibu saya bersama istri saya," ungkap Imam.
Imam juga membantah ia pernah meminta uang melalui asisten pribadinya bernama Nur Rochman alias Komeng. "Dimana bapak melaporkan bahwa Komeng datang ke bapak terus melapor ke saya? Di mana? Jam berapa dan siapa saksinya? Pakai nota dinas, 'whatsapp' atau apa?" tanya Imam kepada Gatot.
"Saya sudah akan menebak pak menteri membantah itu, saya naik lantai 10 waktu itu, kemudian saya sampaikan 'Pak ini Komeng benar tidak (meminta uang) ini, sepengetahuan saya begitu. Saya sampai di situ berhenti dan tidak menyebutkan angka juga," kata Gatot.
Gatot dalam sidang mengaku pada Desember 2014 ditemui Komeng yang intinya jelang akhir tahun minta deputi untuk mengumpulkan uang namun Gatot lalu melimpahkan permintaan Komeng itu ke asisten deputinya bernama Chandra Bakti sehingga Gatot pun terbebas dari permintaan Komeng.
"Dalam hal ini saya menyanggah ini demi Allah saya tidak pernah saudara saksi melaporkan pada saya," tegas Imam.
"Kami sudah menebak sanggahan seperti itu," ucap Gatot.
"Ya karena saya tahu semua motif ini karena bapak pernah mengscreenshoot WA dari saudara Ulum," balas Imam.
"Tidak ada hubungan," ucap Imam.
"Ya dan itu menjadi satu kesaksian BAP yang dari awal sampai akhir alhamdulilah baik sekali pak, saking baiknya tidak ada satupun kebaikan yang saya lakukan bersama Pak Sesmen di Kemenpora," ungkap Imam sinis.
Dalam perkara ini mantan Menpora Imam Nahrawi bersama-sama dengan asisten pribadinya Miftahul Ulum didakwa menerima suap totalnya sejumlah Rp11,5 miliar dari Sekretaris Jenderal Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Ending Fuad Hamidy dan Bendahara KONI Johnny E Awuy yaitu terkait proprosal bantuan dana hibah kepada Kemenpora dalam pelaksanaan tugas pengawasan dan pendampingan program Asian Games dan Asian Para Games 2018 serta proposal dukungan KONI Pusat dalam pengawasan dan pendampingan seleksi calon atlet dan pelatih atlet berpresetasi tahun 2018.
Sedangkan dalam dakwaan kedua Imam didakwa menerima gratifikasi berupa uang seluruhnya berjumlah Rp8,648 miliar dengan rincian Rp300 juta dari Ending Fuad Hamidy; uang Rp4,948 miliar sebagai tambahan operasional Menpora RI, Rp2 miliar sebagai pembayaran jasa desain Konsultan Arsitek Kantor Budipradono Architecs dari Lina Nurhasanah selaku Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Program Indonesia Emas (PRIMA) Kemenpora RI tahun anggaran 2015-2016.
Selanjutnya penerimaan uang Rp1 milliar dari Edward Taufan Panjaitan selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) program Satlak Prima 2016-2017 dan uang sejumlah Rp400 juta dari Supriyono selaku BPP Peningkatan Presitasi Olahraga Nasional (PPON) tahun 2017-2018 dari KONI Pusat.