REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Padang mendesak DPR RI dan pemerintah segera membahas revisi Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Bahkan, UU Pemilu setelah direvisi harus disahkan dua tahun sebelum penyelenggaraan Pemilu 2024 mendatang.
"Kita tadi juga membicarakan bagaimana ini jadi prioritas karena secara teknis perundangan-undangannya idealnya itu kan dibahas undang-undamng ini jadi dua tahun menjelang pemilu jadi hitungan kita tadi itu di 2022 itu sudah selasai," ujar Peneliti Pusako Charles Simabura di kantor Kemendagri, Jakarta Pusat, Rabu (4/3).
Pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 55/PUU-XVII/2019 tentang pemilu serentak itu tak lagi memisahkan rezim pemilu dan pilkada. MK memberikan enam opsi desain pemilu serentak dan menyerahkan pembentuk undang-undang yakni pemerintah dan DPR untuk menata kembali model pemilu, sepanjang tidak memisahkan pemilihan presiden, anggota DPR, dan DPD.
Menurut Charles, perubahan model pemilu akan berimplikasi pada struktur kelembagaan penyelenggara pemilu yang juga harus dievaluasi terhadap relasi setiap jenjang lembaga. Sehingga, tidak hanya Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang memiliki beban, tetapi dalam konteks pilkada Kemendagri juga harus bertanggung jawab melaksanakan pemilu bersama para pemangku kepentingan lainnya.
Dengan demikian, lanjut Charles, banyak hal yang perlu diperhatikan seiring perubahan model pemilu tersebut. Hal yang paling penting untuk tidak lupa melakukan simulasi-simulasi atas perubahan-perubahan yang direncanakan hingga hasilnya benar-benar siap diimplementasikan kepada masyarakat.
Selain itu, berkaca pada draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja yang menimbulkan banyak kritikan penolakan, kata Charles, sebaiknya revisi UU Pemilu melibatkan publik sejak awal. Sehingga dalam proses pembahasannya tidak menciptakan kegaduhan dan polemik yang membuat pembahasan substansi justru dikesampingkan.
"Simulasi menjadi penting, dan lebih penting lagi itu untuk dibahas daei sekarang sehingga kita punya waktu yang cukup maksimal untuk berdiskusi lebih panjang. Sehingga nanti pada saat pelaksanaan tidak lagi di-JR (judicial review) ke MK, digugat dalam konteks pelaksanaan teknisnya," tutur Charles.