REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terjadi perubahan pada perjalanan penyakit corona jenis baru atau COVID-19 yang membuat penyebarannya lebih cepat dan luas meski banyak negara memperketat pemeriksaan. Hal itu dikatakan juru bicara pemerintah untuk penanganan COVID-19, Achmad Yurianto.
"Ini disebabkan karena ternyata ada perubahan perjalanan penyakitnya. Satu, inkubasinya tidak cukup 1 x 14 hari," kata Sekretaris Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan itu dalam temu media di Jakarta, Rabu (4/3).
Dia mengambil contoh bagaimana dalam sebuah kasus seorang suspect (terduga) diperbolehkan pulang setelah observasi 14 hari dan mendapatkan hasil tes negatif COVID-19. Padahal, pada hari ke-20 dia baru diuji positif penyakit yang disebabkan virus COVID-19 itu.
Karena pengawasan berhenti di hari ke-14, maka penyebaran virus itu bisa terjadi bagi suspect yang baru positif terjangkit setelah melewati masa observasi selama 14 hari tersebut. Tidak hanya masa inkubasi yang seharusnya lebih lama, menurut dia, banyak kasus positif COVID-19 tidak terdeteksi karena minimnya gejala atau bahkan sama sekali tidak terdapat indikasi penyakit tersebut.
"Mungkin tidak panas tinggi, minum obat turun panasnya, pasti pintu negara manapun akan lolos. Atau malah tanpa gejala sama sekali, pasti kemana-mana lolos," kata dia.
Minimnya gejala tersebut mungkin menjadi alasan mengapa warga negara Jepang yang menjadi sumber infeksi dua pasien positif COVID-19 di Jakarta bisa masuk ke Indonesia. Sebelumnya, dua warga Indonesia yang berdomisili di Depok terbukti positif COVID-19. Keduanya tertular setelah melakukan kontak dengan warga negara Jepang yang teruji positif virus tersebut di Malaysia setelah melakukan kunjungan dari Indonesia.
Kedua pasien itu mengalami gejala flu, batuk, sesak napas dan demam serta sempat dirawat di sebuah rumah sakit di Depok sebelum dibawa ke Sulianti Saroso. Yurianto menyebut dua pasien itu dalam kondisi membaik.