REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Komisi Eropa menggelontorkan dana sebesar 31 juta euro atau sekitar Rp 47,2 miliar (dengan kurs Rp 15.763 per euro) untuk membantu mengatasi krisis Rohingya di Bangladesh dan Myanmar pada Rabu (4/3).
"Kami berkomitmen mendukung para pengungsi dan masyarakat tuan rumah di Cox's Bazar (Bangladesh), serta kepada Rohingya yang rentan di Myanmar," kata Komisaris Uni Eropa untuk Manajemen Krisis Janez Lenarcic, dikutip laman resmi Komisi Eropa.
Dari total dana bantuan yang dikucurkan, 18,5 juta euro di antaranya akan digunakan untuk menyedikan kebutuhan dasar bagi pengungsi Rohingya di Bangladesh, seperti makanan, obat-obatan, layanan kesehatan, termasuk pendidikan. Kemudian 3,5 juta euro dimanfaatkan untuk membangun kapasitas masyarakat dalam hal tanggap bencana.
Sebanyak 6,5 juta euro akan digunakan untuk membantu warga Rohingya di Negara Bagian Rakhine, Kachin, dan Shan di Myanmar. Hal itu termasuk menyedikan layanan kesehatan, tempat tinggal, dan pendidikan.
Kemudian 2,5 juta euro digunakan untuk membantu warga di ketiga negara bagian di Myanmar tanggap terhadap bencana, termasuk jika terjadi konflik. Menurut Lenarcic penting untuk mempertahankan bantuan kemanusiaan bagi Rohingya. Sebab mereka menggantungkan hidupnya pada hal tersebut.
Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah meluncurkan penyelidikan terhadap Myanmar yang diduga melakukan kejahatan terhadap etnis Rohingya. Pada awal Februari lalu, ICC mengerahkan tim ke kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh.
"Para penyelidik sudah berada di kamp. Jadi penyelidikan sudah dimulai," kata kepala delegasi ICC Phaksio Mochochoko yang berkunjung ke Ibu Kota Bangladesh, Dhaka pada 4 Februari lalu, dilaporkan Anadolu Agency.Mochochoko mengatakan para penyelidik ICC telah berbicara dengan berbagai kelompok mengenai penyelidikan yang menyeluruh dan komprehensif. Menurut dia, selain ke kamp pengungsi, tim penyelidik juga perlu menyambangi orang-orang Rohingya yang masih tinggal di Negara Bagian Rakhine, Myanmar."Tetapi sayangnya Myanmar tidak bekerja sama dengan kami dan tidak mengizinkan kami masuk. Ini adalah tantangan besar bagi kami, tetapi ini bukan tantangan yang tidak mungkin tercapai," ujar Mochochoko.
Pada Agustus 2017, lebih dari 700 ribu orang Rohingya melarikan diri dari Rakhine dan mengungsi ke Bangladesh. Hal itu terjadi setelah militer Myanmar melakukan operasi brutal untuk menangkap gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA).
Masifnya arus pengungsi ke wilayah perbatasan Bangladesh segera memicu krisis kemanusiaan. Para pengungsi Rohingya terpaksa harus tinggal di tenda atau kamp dan menggantungkan hidup pada bantuan internasional.