Kamis 05 Mar 2020 08:54 WIB

Anak Terbukti Lebih Tangguh Hadapi Corona

Faktanya pasien meninggal corona didominasi lansia, bukan anak.

Model tiga dimensi dari partikel virus SARS-CoV-2 virus atau dikenal sebagai 2019-nCoV. Virus tersebut adalah penyebab Covid-19 atau virus corona jenis baru.
Foto: EPA-EFE/NATIONAL INSTITUTES OF HEALTH
Model tiga dimensi dari partikel virus SARS-CoV-2 virus atau dikenal sebagai 2019-nCoV. Virus tersebut adalah penyebab Covid-19 atau virus corona jenis baru.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Puti Almas, Adysha Citra Ramadhani

Anak-anak biasanya selalu menjadi sosok yang paling rentan ketika berhadapan dengan penyakit. Namun dalam berhadapan dengan virus corona jenis baru atau Covid-19, semakin muda usia justru semakin jauh risiko fatalitasnya.

Baca Juga

Pasien corona, rata-rata usianya, adalah antara 49-56 tahun. Bahkan dalam laporan yang diterbitkan JAMA di 5 Februari 2020, kasus corona pada anak-anak sangat jarang terjadi.

Mengutip data dari laman Worldometers.info, yang terakhir diperbarui pada 29 Februari 2020, tertera persentase kematian paling besar pada kasus positif corona terjadi pada mereka yang berusia 80 tahun ke atas.

Laman tersebut menuliskan death rate atau angka kematian adalah kemungkinan pasien meninggal jika terinfeksi virus. Probabilitas tersebut menunjukkan semakin tua sesorang makan kemungkinannya makin besar.

Di usia 80 tahun ke atas probabilitas kematian jika terinfeksi mencapai 14,8 persen. Lalu 70-79 tahun 8 persen, 60-69 tahun 3,6 persen, 50-59 tahun 1,3 persen, 40-49 tahun 0,4 persen. Kemudian di rentang usia 30-39 tahun, 20-29 tahun, dan 10-19 tahun probabilitasnya sebesar 0,2 persen. Untuk usia 0-9 tahun bahkan disebut 'no fatalities' alias kemungkinan sembuhnya sangat besar.

Jadi, apakah yang menyebabkan jarang anak-anak terinfeksi virus corona tipe baru ini? Menurut Malik Peiris, seorang dokter yang juga kepala virologi di Universitas Hong Kong, kemungkinan meskipun orang-orang dengan usia muda terinfeksi, mereka terserang penyakit akibat virus ini relatif lebih ringan. Ia juga menuturkan, para ilmuwan mungkin tidak melihat banyak anak terinfeksi, karena mereka tak memiliki data tentang kasus yang lebih ringan.

“Jika virus corona menyebar ke seluruh dunia dan seluas flu musiman, mungkin kita akan melihat lebih banyak,” ujar Peiris, dilansir New York Times.

Dalam satu kasus yang dipublikasikan, ada seorang anak berusia 10 tahun yang bepergian ke episentrum wabah, yakni di Wuhan, China. Saat kembali ke Shenzhen, kota asalnya, sejumlah anggota keluarga yang berusia antara 36 hingga 66 tahun mengalami demam, sakit tenggorokan, diare, dan radang paru.

Anak berusia 10 tahun itu juga memiliki gejala terinfeksi virus dengan adanya pneumonia. Namun, tidak ada gejala luar lainnya, sehingga beberapa ilmuwan menduga bahwa ini adalah tipikal infeksi virus corona pada anak-anak.

“Memang benar bahwa anak-anak dapat terinfeksi tanpa gejala atau memiliki infeksi yang sangat ringan,” ujar Raina MacIntyre, seorang ahli epidemiologi di Universitas New South Wales di Sydney, Australia, yang telah mempelajari penyebaran virus corona tipe baru.

Dalam banyak hal, pola ini paralel dengan yang terlihat selama wabah sindrom pernapasan akut parah (SARS) dan flu unta (MERS). Epidemi MERS di Arab Saudi pada 2012 dan di Korea Selatan (Korsel) pada 2015 merenggut lebih dari 800 nyawa.

Namun, sebagian besar anak-anak yang terinfeksi tidak pernah mengalami gejala. Tidak ada anak yang meninggal selama epidemi SARS pada 2003 dan sebagian besar dari 800 kematian dalam wabah virus tersebut terjadi pada orang di atas usia 45, dengan laki-laki lebih berisiko.

Di antara lebih dari 8.000 kasus SARS, para penliti di Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) di Amerika Serikat (AS) mengidentifikasi 135 anak yang terinfeksi parah. Anak-anak di bawah usia 12 tahun, memiliki kemungkinan lebih kecil untuk dirawat di rumah sakit, maupun membutuhkan oksigen serta perawatan medis lainnya, sementara anak-anak di atas usia itu memiliki gejala seperti orang dewasa.

Bukan hal yang aneh jika virus hanya memicu infeksi ringan pada anak-anak dan penyakit menjadi jauh lebih parah pada orang dewasa. Sebagai contoh adalah cacar air, di mana sebagian besar tidak menjadi kondisi serius pada anak-anak, namun sangat berbahaya bagi orang dewasa.

Selain itu ada influenza yang tidak biasa karena telah berevolusi dengan manusia selama ribuan tahun dan menginfeksi jutaan orang di seluruh dunia setiap tahunnya. Namun, meski anak-anak harus dirawat di rumah sakit setiap tahun karena influenza, hanya sebagian kecil dari mereka yang meninggal.

Orang dewasa mungkin lebih rentan karena mereka lebih cenderung memiliki penyakit lain, seperti diabetes, tekanan darah tinggi, atau penyakit jantung, yang melemahkan kemampuan tubuhnya untuk mencegah infeksi. Imunitas bawaan tubuh, yang sangat penting untuk melawan segala jenis virus, memburuk seiring bertambahnya usia, terutama setelah usia paruh baya.

“Sesuatu berubah pada usia 50 tahun. Kemampuan itu menurun secara eksponensial, itulah sebabnya sebagian besar infeksi terjadi pada lansia,” jelas Maclntyre seperti dikutip laman New York Times.

Anak-anak yang terinfeksi virus corona tipe baru dan tidak memiliki gejala mungkin bisa menularkannya kepada orang lain. Meski demikian, Maclntyre mengatakan, banyak orang di usia muda yang tidak menyadari bahwa mereka sakit dapat berkontribusi pada momentum epidemi.

Untuk memahami epidemi sepenuhnya, para ilmuwan membutuhkan data rinci, mulai dari kapan orang pertama kali terpapar virus, kali pertama mereka mulai menunjukkan gejala, hingga berapa banyak dan orang yang memiliki gejala ringan versus penyakit yang lebih parah.

Dengan data terperinci, beberapa pengamatan, seperti risiko yang lebih tinggi pada pria, dapat berubah. Namun, Mark Denison, seorang dokter spesialis penyakit menular anak di Vanderbilt University di Nashville, mengatakan, ia tidak berharap untuk melihat peningkatan mendadak pada anak-anak yang terinfeksi.

“Sulit bagi saya untuk membayangkan bahwa ada tingkat penyakit klinis yang tidak dilaporkan pada anak-anak sehingga kami hanya mendengar sekitar dua atau tiga kasus. Saya pikir itu berarti bahwa ada banyak, lebih sedikit anak-anak yang terinfeksi di China, katanya, dan bahwa mereka tidak terlalu berisiko,” jelas Denison.

Dokter Spesialis Anak Konsultan Gastrohepatologi Prof dr Badriul Hegar PhD SpA(K) mengatakan langkah terbaik menjaga kesehatan dan daya tahan tubuh anak adalah melalui asupan makanan. Prof Hegar mengungkapkan prinsip yang terpenting adalah asupan yang cukup dan seimbang.

Untuk itu, orang tua perlu memahami seberapa besar kalori dan zat gizi yang diperlukan anak sesuai dengan usia mereka. Sebagai contoh, anak yang membutuhkan asupan 800 kalori per hari bisa diberikan makan sebanyak tiga kali makan besar dengan besaran kalori masing-masing yaitu 200 kalori dan dua kali camilan dengan besaran kalori masing-masing 100 kalori.

Saat memberikan menu makan pagi sebesar 200 kalori, orang tua harus memastikan bahwa di dalam piring makan anak tersebut sudah mengandung beragam zat gizi yang dibutuhkan anak. Zat gizi ini meliputi karbohidrat, protein, lemak, vitamin hingga mineral.

Di tengah isu wabah Covid-19 saat ini, banyak orang tua yang mungkin mendapatkan informasi mengenai konsumsi makanan atau suplemen tertentu untuk melindungi anak dari wabah tersebut. Akan tetapi, Prof Hegar mengingatkan orang tua untuk lebih bijak dalam menanggapi informasi-informasi tersebut.

Hingga saat ini belum ada bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa konsumsi makanan atau suplemen tertentu pasti akan melindungi seseorang dari penularan Covid-19. "Kan sebenarnya banyak orang yang membuat isu hanya untuk promo," tambah Prof Hegar.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement