REPUBLIKA.CO.ID, Kisah tragis terbunuhnya cucu Rasulullah SAW, Hasan bin Ali bin Abi Thalib, terekam dalam sejarah meski dengan sejumlah perbedaan riwayat di sana-sini.
Setelah khalifah ketiga, Ustman bin Affan, terbunuh, Ali bin Abi Thalib kemudian menjabat sebagai khalifah. Hasan memberi bantuan dalam pemerintahan ayahnya itu.
Abdul Mun'im Muhammad dalam bukunya, Khadijah, menyebutkan, pada suatu saat Hasan memimpin pasukan ke Kufah. Dia menuai keberhasilan dengan meredam kelompok Muslim yang menyimpang. Dia juga terlibat dalam sejumlah pertempuran di antaranya pertempuran di Basra, Siffin, dan Nahrawan. Dia mendampingi ayahnya, Ali.
Dalam serangkaian pertempuran yang Hasan ikuti itu, dia menunjukkan kepiawaiannya sebagai seorang prajurit sekaligus pemimpin. Sebelum Ali mengembuskan napas terakhir, Hasan ditunjuk untuk menggantikannya memimpin kekhalifahan dan menjadi imam. Rakyat juga memberi dukungan agar Hasan menggantikan posisi ayahnya itu.
Namun, kedudukan Hasan mengancam posisi Muawiyah yang selama Ali menjabat kerap berseberangan. Hal ini terkait dengan kasus pembunuhan Ustman bin Affan yang tak kunjung usai.
Muawiyah pun kemudian menjabat sebagai khalifah. Dia pun berencana mewariskan kekuasaannya kepada anaknya, Yazid bin Muawiyah. Namun, dia menganggap Hasan menjadi halangan terlaksananya rencananya itu. Sejumlah sumber menyatakan Muawiyah menyusun rencana membunuh Hasan.
Secara rahasia, Muawiyah melakukan kontak dengan istri Hasan, Ja'da binti al-Ash'ath ibn Qays. Ja'da kemudian membubuhkan racun yang dicampur dengan madu pada makanan Hasan. Ja'da dijanjikan hadiah emas dan menikah dengan Yazid.
Sumber lain menyebutkan, yang meracun adalah istri Hasan lainnya, yaitu anak Suhayl ibn Amr. Bahkan, ada yang menyatakan bahwa pembunuhan melalui racun itu dilakukan pembantu Hasan. Hasan mengembuskan napas terakhir di Madinah pada 28 Shafar 50 H. Jasad Hasan kemudian dikuburkan di pemakaman Jannat al-Baqi, yang letaknya berdekatan dengan Masjid Nabawi.