Kamis 05 Mar 2020 10:31 WIB

UU Pemilu dan Pilkada Diusulkan Digabung

UU Pilkada dan Pemilu dinilai memiliki objek yang sama.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Muhammad Hafil
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Univ Andalas Feri Amsari memberikan paparan dalam diskusi di Jakarta, Ahad (5/3).
Foto: Republika/Prayogi
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Univ Andalas Feri Amsari memberikan paparan dalam diskusi di Jakarta, Ahad (5/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Padang, Feri Amsari mengusulkan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan UU tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) digabungkan dalam satu UU. Kedua undang-undang itu dinilai memiliki objek yang sama dan patut diharmonisasi.

"Jadi sebenarnya sudah ada penggabungkan, model kodifikasi tinggal kemudian menyempurnakan. Tinggal pemilihan kepala daerah, nah sekarang dilengkapi agar betul-betul biar menjadi satu paket yang utuh dan pola harmonisasinya," ujar Feri di kawasan Jakarta Selatan, Selasa (3/2). belum lama ini.

Ia mengatakan, penggabungan itu bisa dilaksanakan mengingat UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pun merupakan hasil kodifikasi tiga undang-undang. Tiga aturan yang dimaksud adalah UU Pemilihan Presiden (Pilpres), UU Pemilihan Legislatif (Pileg), dan UU tentang Penyelenggara Pemilu.

Menurut Feri, revisi UU Pemilu yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020 juga harus dibahas serentak bersama enam UU lainnya. Selain UU Pilkada yang diusulkan digabung, revisi UU Pemilu juga harus dibahas bersamaan dengan UU Partai Politik; UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3); UU Pemerintahan Daerah; UU Keuangan Negara; serta UU Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

Ia mengatakan, pembahasan secara serentak dengan undang-undang lainnya yang terkait bertujuan menghindari tumpang tindih aturan maupun perbedaan nomenklatur. Hal-hal yang beririsan perlu diselaraskan seperti pendanaan partai politik sampai penegakan hukum.

"Sehingga tidak ada lagi perbedaan-perbedaan nanti di pelaksanaannnya," kata Feri.

Namun, ia menolak apabila kodifikasi undang-undang ini disebut omnibus law. Sebab, menurutnya, berdasarkan UU tentang pembentukan peraturan perundangan-undangan tak diatur pola omnibus law yang kini diterapkan dalam Rancangan UU (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja.

Ia mengatakan, UU tidak mengenal konsep yang menerapkan penggabungan sekaligus baik aturan baru maupun revisi UU lain yang dianggap berkaitan kemudian diubah dalam satu RUU. RUU Omnibus Law merevisi pasal-pasal dalam 79 UU yang kemudian disatukan dalam satu RUU tersebut.

"Kenapa tidak omnibus law, karena menurut undang-undang pembentukan peraturan perundangan-undangan pola omnibus law itu tidak diatur. Jadi kalau mau merevisi, tidak begitu caranya. Mau buat undang-undang yg baru juga tidak begitu caranya. Jadi tidak dikenal konsep itu. Sebagaimana yang dilakukan oleh RUU Cipta Kerja," jelas Feri.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, pascaputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, sudah tidak relevan jika pengaturan Pilkada dan Pemilu dipisah. Menurut dia, permasalahan akan lebih banyak pada pemilihan selanjutnya ketika tidak digabungnya kedua UU tersebut.

"Mau tidak mau untuk sinkronisasi khusus untuk Pemilu dan Pilkada bisa dikatakan sudah tidak ada pilihan selain menggabungkan atau dikodifikasi," jelas Titi.

Kemudian, ketika ada penggabungan kedua UU itu, maka ada implikasi juga terhadap tujuh undang-undang yang telah disebutkan di atas termasuk UU Pemilu. Sehingga proses pembahasan revisi UU Pemilu pun akan berdampak pada pasal-pasal yang ada di UU lainnya.

Sementara itu, Peneliti Pusako Charles Simabura menambahkan, seharusnya pembentuk undang-undang yakni DPR RI dan pemerintah melibatkan pihak-pihak terkait dalam revisi UU Pemilu sejak awal. Sehingga kegaduhan atas penolakan seperti terjadi terhadap draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja tidak terjadi lagi.

Apalagi, revisi UU Pemilu juga menata kembali model pemilu serentak pascaputusan MK, maka pembahasan harus segera dimulai awal tahun ini. Sebab, DPR, pemerintah, penyelenggara pemilu, maupun praktisi, akademisi, dan pegiat pemilu harus melaksanakan dan memantau simulasi desain pemilu serentak.

"Mestinya kita start (pembahasan revisi UU Pemilu) dari sekarang. Jangan lagi SKS, Sistem Kebut Semalam atau Sistem Kebut Sebulan, atau Sistem Kebut Sekebut-kebutnya, itu omnibus law. Karena dia harus menyinkronkan itu tadi," kata Charles.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement