REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani menjabarkan perbandingan antara krisis ekonomi tahun 2009 dengan gejolak ekonomi global akibat virus corona (Covid-19) saat ini. Menurutnya, keduanya punya karakter 'pukulan' yang berbeda. Bila krisis 2009 lalu lebih banyak menghantam perbankan dan pasar modal, maka tekanan akibat corona ini lebih menyasar sektor riil.
"Kalau sekarang (akibat corona) menyangkut masalah orang yang tidak berani melakukan mobilitas, tidak melalukan kegiatan, itu pengaruhi sektor riil, investasi, manufacturing. Jadi ini yang menjadi risikonya ke masalah sektor riil langsung," jelas Sri Mulyani di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (5/2).
Khusus kejadian saat ini, tekanan ekonomi akibat corona yang merembet kepada lumpuhnya industri akan berimbas pada pemutusan hubungan kerja (PHK). Di China misalnya, aktivitas industri di sana nyaris lumpuh dan mengancam pasokan bahan baku di Indonesia. Kendati begitu, Sri juga mengakui bahwa efek jangka panjang dari PHK adalah kredit macet yang naik dan akan menggangu kinerja perbankan.
"Makanya sekarang kita konsentrasinya kurangi dampak di sektor riil, entah melalui berbagai relaksasi dan juga dari sisi demand side supaya masyarakat jangan merasa ketakutan yang membuat mereka tidak melakukan kegiatan apa-apa," kata Sri.
Jadi secara umum, kompleksitas tekanan ekonomi yang terjadi akibat virus corona ini lebih tinggi saat ini ketimbang krisis yang terjadi tahun 2009 silam. Sri menyebutkan, ancaman corona ini menyangkut nyawa manusia sehingga kompleksitasnya lebih nyata.
"Lebih rumit yg ini. Karena ini menyangkut manusia. Kalau dulu kan melalui lembaga keuangan, korporasi jatuh, PHK paling. Kalo ini langsung orang sakit, jadi nature-nya lebih dalam karena masyarakat tiba-tiba menjadi setengah lumpuhlah. Seperti sekolah ditutup, pabrik ditutup," katanya.
Sri Mulyani pun membuka peluang pemberian stimulus ekonomi yang lebih besar daripada jumlah yang dialokasikan pemerintah pada 2009 lalu. Pada saat krisis ekonomi tahun 2009, pemerintah mengucurkan stimulus sebesar Rp 73 triliun. Kebijakan stimulus saat itu dianggap cukup manjur untuk menjaga pertumbuhan ekonomi nasional 4,5 persen di tengah krisis dunia.
"Kita akan lihat. Karena saya bilang saya sangat terbuka dalam hal ini. Makanya kan tadi respons pertama fokusnya pertama yang langsung berhubungan dengan tourism. Seperti hotel, restoran, dan airlines. Tapi sekarang kita lihatnya lebih luas kepada sektor manufaktur," jelasnya.