REPUBLIKA.CO.ID, Kita selalu menyangka bahwa tanda cinta Allah kepada umat-Nya berupa kenikmatan. Padahal, tidak selamanya kenikmatan pemberian Allah kepada kita sebagai tanda cinta-Nya.
Bisa jadi kenikmatan itu menggelincirkan kita ke jurang kenistaan karena kita tidak pandai mensyukurinya. Sesungguhnya kecintaan Allah kepada kita justru sering berbentuk penderitaan yang seringkali kita sebut sebagai azab. Padahal, penderitaan itu bukanlah azab, melainkan ujian.
Para Nabi dan Rasul adalah orang-orang yang paling berat menerima ujian berbentuk penderitaan semasa hidupnya. Ujian mereka sangat berat melebihi ujian yang diberikan kepada siapa pun. Demikian secara berurutan, para syuhada, kemudian shalihin.
Allah berfirman: "Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan (saja) mengatakan 'Kami telah beriman,' lantas tidak diuji lagi? Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan mengetahui orang-orang yang dusta." (QS Al Ankabut: 2-3).
Rasulullah SAW bersabda, "Jika Allah menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, maka Dia menyegerakan hukuman di dunia. Jika Allah menghendaki keburukan bagi hamba-Nya, maka Dia menahan hukuman kesalahannya sampai disempurnakannya pada hari kiamat." (HR. Imam Ahmad, At Turmidzi, Al Hakim, Ath Thabrani, dan Al Baihaqi, Menurut Al Haitsami, periwayatan hadis ini sahih)
Diriwiyatkan, seorang lelaki telah bertemu seorang wanita yang disangkanya pelacur. Lelaki itu menggodanya. Atas perlakuan itu, sang wanita berkata, "Cukup!" Lantaran terkejut, lelaki ini menoleh ke belakang, namun terbentur tembok dan terluka. Lelaki usil itu pergi menemui Rasulullah dan menceritakan pengalamannya itu. Sabda Rasulullah, "Engkau masih dikehendaki oleh Allah menjadi baik."
Dalam riwayat At Tirmidzi, hadis itu disempurnakan dengan lafadz sebagai berikut, "Dan sesungguhnya Allah, jika Dia mencintai suatu kaum, Dia menguji mereka. Jika mereka ridha, maka Allah ridha kepadanya. Jika mereka benci, Allah membencinya."