Jumat 06 Mar 2020 00:32 WIB

Pendataan Pemilih Disabilitas untuk Pilkada 2020 Disorot

Kelompok disabilitas mental pun perlu didata karena haknya sebagai pemilih.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Ratna Puspita
[Ilustrasi] Penyandang disabilitas mental saat menggunakan hak pilihnya di Panti Rehabilitasi Orang dengan Gangguan Jiwa, Bekasi, Jawa Barat.
Foto: Tahta Aidilla/Republika
[Ilustrasi] Penyandang disabilitas mental saat menggunakan hak pilihnya di Panti Rehabilitasi Orang dengan Gangguan Jiwa, Bekasi, Jawa Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat (PPUA Penca) Ariani Soekanwo mengatakan, potensi jumlah pemilih disabilitas sebanyak 137.247 orang dari jumlah daftar penduduk pemilih potensial (DP4) dalam Pilkada 2020 sebesar 105.396.460 orang masih dapat meningkat. Menurutnya, pendataan kelompok disabilitas yang memiliki hak politik masih krusial dan belum akurat.

"Karena memang selama ini pendataan kelompok disabilitas masih krusial belum akurat. Masih banyak yang disabilitas tapi belum dicatat sebagai disabilitas," ujar Ariani saat dihubungi wartawan, Kamis (5/3).

Baca Juga

Ia mengatakan, kelompok disabilitas mental pun perlu didata karena haknya sebagai pemilih. Di samping yang bersangkutan mau menyoblos atau tidak, itu perkara lain, misalnya ketika gangguan mentalnya kambuh.

"Kalau pas kumat ya tidak bisa nyoblos. Kan sama seperti orang pada umumnya kalau sakit engga bisa nyoblos kan, masa masuk ICU nyoblos, kan engga. Kalau kumat enggak nyoblos enggak apa-apa yang penting dicatat," kata Ariani.

Dengan demikian, ia meminta KPU memastikan penyediaaan Tempat Pemungutan Suara (TPS) Akses Disabilitas sesuai Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. TPS yang dapat diakses pengguna kursi roda, alat coblos yang ramah bagi penyintas buta, sampai sosialisasi dengan bahasa isyarat bagi penyintas tuli agar lebih paham.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, masih terdapat hambatan dan diskriminasi kepada pemilih disabilitas. Salah satunya, kapasitas penyelenggara yang belum sepenuhnya memahami soal hak-hak politik disabilitas.

"Masih banyak TPS yang tidak ramah pemilih disabilitas, sehingga mereka kesulitan dalam memberikan hak pilihnya," tutur Titi.

Belum lagi, kata dia, kendala sulitnya mendapatkan informasi pemilu yang ramah bagi penyandang disabilitas, baik soal tata cara pemilu maupun menyangkut informasi rekam jejak calon. Khususnya kelompok penyintas tuli dan buta.

Selain itu, lanjut Titi, politisasi penggunaan hak pilih para penyandang disabilitas mental. Menurut dia, sejumlah pihak yang meragukan kemampuan penyandang disabilitas mental menggunakan hak pilihnya justru menjadikan hal tersebut sebagai komoditas politik yang membuat kontroversi dalam penyelenggaraan pemilu 2019 lalu misalnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement