REPUBLIKA.CO.ID, Imam Al Ghazali dikenal dengan kepakarannya di bidang tasawuf. Tokoh kelahiran Thus, Persia ini, mampu memadukan antara hati dan spiritual. Hati di sini bukan hati yang berbentuk gumpalan daging lembut yang terletak di sebelah bagian dada. Melainkan hati yang merupakan kumpulan nilai-nilai spiritual yang dipenuhi kekuatan rahman dan rahim.
Dalam kenyataannya hati mempunyuai dua sifat: untuk selalu berbuat baik dan sifat untuk selalu berbuat jelek. Dari kedua sifat ini lahir sifat lainnya yang jumlah keseluruhannya sebanyak empat macam. Pertama, sifat syaitan, kedua sifat hewan, ketiga sifat buas, keempat sifat malaikat.
Perbuatan yang berdasarkan "akal" yang merupakan rahmat dan kebaikan dari Tuhan yaitu bagian dari perbuatan malaikat. Perbuatan malaikat ini yang harus dikembangkan dalam kehidupan. Karena malaikat ini makhluk yang suci, maka kita mesti menjaga kesucian hati dengan nilai-nilai ilahiyah agar hati selalu dalam keadaan suci penuh dengan muatan thayyibah.
Al Ghazaly mengumpamakan hati bagaikan sebuah cermin yang berbayangan. Cermin akan berbentuk lain, gambar manusia berbentuk lain, bayangan gambar manusia didapatinya berbentuk lain.
Untuk mendapatkan gambar manusia dalam cermin dibutuhkan cahaya sebagai sarananya. Mengenai akal, bagi Ghazaly, ada dua jalan yang harus ditempuh sufi dalam menggunakan akal.
Pertama, akal harus memenuhi tiga syarat dalam mendapatkan pengetahuan sufi. Di antaranya mendapatkan seluruh ilmu dengan mengambil manfaatnya dari seluruh ilmu tersebut. Kedua, melakukan riyadhah (praktikal) yang benar, dan ketiga, berfikir. Karena jika jiwa telah belajar dan menerima apa yang didapatinya dari ilmu kemudian ia memikirkannya dengan menggunakan syarat-syarat berfikir, maka akan terbuka pintu alam ghaib baginya.
Setelah tiga syarat terpenuhi, demikian Al Ghazaly, akal akan memasuki fungsinya yang utama yaitu mengevaluasi pengalaman-pengalaman sufi dalam manjalani tasawufnya.