REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan, Donny Gahral Adian mengatakan pemerintah masih melakukan pengkajian terkait wacana pemulangan anak-anak WNI eks ISIS. Donny mengungkapkan, pemerintah masih memantau sejauh mana anak-anak tersebut terpapar paham radikal.
"Ada yang punya kemungkinan juga sudah infiltrated by radical ideology. Ini yang betul-betul harus dipantau," ujar Donny dalam diskusi di Jakarta, Sabtu (7/3).
Kajian juga terus dilakukan kepada para remaja WNI eks ISIS. Sebab, Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) menyebut bahwa banyak anak dan remaja yang sudah ditanamkan paham radikalisme untuk dijadikan kombatan.
"Meskipun masih remaja, mereka sudah memiliki suatu pegangan ideologis yang dijadikan prinsip secara militan," kata Donny.
Donny menjelaskan, pemerintah tetap menjadikan keamanan masyarakat dalam negeri sebagau prioritas. Meski wacana pemulangan anak WNI eks ISIS murni alasan kemanusiaan. "Alasan kemanusiaan yang tetap menjaga prinsip keselamatan terhadap keamanan bangsa dan negara, itu yang tidak boleh dikorbankan," ujar Donny.
Di sisi lain, Haris Amir Falah, yang merupakan mantan narapidana teroris menyebut bahwa radikalisme lebih berbahaya dari virus Covid-19 atau corona. Maka dari itu, ia menilai pemerintah melakukan langkah tepat dengan tidak memulangkan WNI eks ISIS.
"Pengalaman saya bahwa doktrin atau anti NKRI adalah paket wajib untuk menjadi radikalis," ujar Haris.
Haris menceritakan, untuk menghilangkan paham radikal dalam dirinya membutuhkan waktu yang lama. Sehingga, pemerintah harus memikirkan banyak hal sebelum memulangkan mereka. "Itu timbul tenggelam. Saya mungkin baru sekitar 7-8 tahun, naik turun, sekarang lagi naik di moderatnya," ucap Haris.