REPUBLIKA.CO.ID, BETLEHEM -- Kota Betlehem, di Tepi Barat yang diduduki bagaikan kota hantu, Jumat (7/3). Suasana kota sepi dari aktivitas sehari-hari masyarakatnya setelah tujuh orang dikonfirmasi terinfeksi virus corona jenis baru atau Covid-19.
Menurut Kementerian Kesehatan Palestina di Ramallah, jumlah orang yang terpapar corona bertambah menjadi sembilan. Penduduk mengkritik Israel dan Otoritas Palestina mengambil langkah keras di Tepi Barat daripada di dalam Israelnya sendiri.
Beberapa penduduk juga curiga terhadap motif di balik keputusan Israel untuk menutup kota. Seorang pemilik hotel dan anggota asosisasi hotel kota, Fadi Katan mengatakan, jumlah korban di Tepi Barat dan Israel berbanding cukup jauh untuk memutuskan mengisolasi kota.
"Ada tujuh orang yang terinfeksi di sini dan di Israel ada 17, tetapi tidak ada yang berpikir untuk mengunci kota. Mereka yang sakit di Betlehem berasal dari orang-orang yang datang ke sini melalui Israel, jadi alasan di balik seluruh keputusan tidak jelas," ujar Katan seperti dikutip Haaretz, Sabtu (7/3).
Beberapa jam setelah diagnosis diumumkan di sebuah kota dekat Betlehem, Menteri Pertahanan Israel Naftali Bennett memerintahkan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) dan Koordinator Kegiatan Pemerintah di Wilayah untuk memaksakan penutupan kota sampai pemberitahuan lebih lanjut. Hal tersebut merupakan langkah yang katanya sudah dikoordinasikan dengan Otoritas Palestina.
Keputusan tersebut melarang warga Palestina dari Betlehem, Beit Jala, dan Beit Sahour memasuki Israel. Meskipun banyak dari mereka bekerja di sana, sementara pergerakan barang akan berjalan seperti biasa.
Kementerian Kesehatan Palestina mengatakan, bahwa tujuh orang yang didiagnosis dengan virus corona kemungkinan tertular dari sekelompok wisatawan dari Yunani yang tinggal di sebuah hotel Beit Jala yang juga mengunjungi Israel. Sebanyak 51 orang lainnya yang berada di lokasi itu dinyatakan negatif terhadap penyakit tersebut. Semua yang diuji, di antaranya karyawan hotel, dan ditempatkan di bawah karantina.
Penduduk Palestina di Betlehem dan daerah sekitarnya telah melaporkan penurunan signifikan dalam kegiatan di kota itu sejak Kamis malam. Wilayah Bethlehem sering dikunjungi oleh wisatawan dari Israel dan banyak tempat lain di seluruh dunia.
"Ada perasaan seperti lumpuh (kota), isolasi ini berlangsung selama periode ketika pariwisata tumbuh," ujar Katan.
"Menutup kota ketika kami menyelenggarakan acara besar seperti maraton Bethlehem, (yang sekarang telah dibatalkan) merupakan pukulan yang sangat berat bagi semua orang. Saya berkeliling kota kemarin dan masih ada beberapa turis, tetapi sangat sedikit. Kota ini hampir mati. Tanpa pariwisata, tidak ada yang bisa dilakukan di Betlehem," ujarnya menambahkan.
Pada Jumat pagi, penduduk memberi tahu Haaretz bahwa pos-pos pemeriksaan ke dan dari Israel telah ditutup. Seorang warga, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya, mengatakan, keputusan penutupan kota ini tidak jelas.
"Ada warga negara asing dan orang-orang yang memiliki kewarganegaraan Israel. Apa yang akan mereka lakukan jika sampai di pos pemeriksaan? Kekhawatirannya adalah bahwa ini lebih merupakan keputusan menteri pertahanan yang ingin membuktikan keberadaannya daripada keputusan yang akan berdampak nyata pada pencegahan penyebaran korona," kata warga itu.
IDF telah mengumumkan bahwa pihaknya akan memberlakukan penutupan umum di Tepi Barat dan menutup penyeberangan ke Jalur Gaza selama periode Purim. Penutupan, yang terjadi setiap tahun selama liburan, akan mulai berlaku pada Ahad tengah malam, 8 Maret 2020. Menurut pihak militer, penutupan di sana akan dilakukan pada tengah malam pada malam hari antara Sabtu dan Minggu, sementara penyeberangan akan ditutup dari pada Ahad. Pembukaan penyeberangan dan penutupan akan dilakukan pada tengah malam Rabu hingga Kamis dengan penilaian.