Sabtu 07 Mar 2020 18:30 WIB

Denny JA Filmkan Puisi Kritik Sosial

Film ini bersumber dari puisi esai yang dibuatnya.

Film Aksi Kamisan
Foto: istimewa/doc pribadi
Film Aksi Kamisan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Memfilmkan puisi kritik dan disosialisasikan melalui media sosial, menurut Denny JA, menjadi cara baru di era digital, untuk melakukan kritik. Hal ini  disampaikan Denny JA ketika saat  film berjudul 'Kutunggu di Setiap Kamisan’. Film ini merupakan inovasi terbaru dalam memfilmkan  puisi kritik sosial.

Dalam film ini Denny mengangkat isu demo kamisan di seberang istana, yang sudah belangsung 10 tahun lebih. Setiap hari kamis, mereka berkumpul dengan payung hitam mencari keluarga yang hilang. Aksi ini dilakukan oleh anggota keluarga, yang keluarganya hilang, diduga karena kasus politik. "Lama dan bertahannya aksi demo setiap kamis itu fenomenal,” kata Denny dalam siaran persnya.

Menunggu orang tercinta yang hilang, baik suami, anak atau anggota keluarga, menurut Denny, sungguh menyentuh. Dipilihnya lokasi di seberang istana dengan payung hitam itu juga strategis.

Denny ingin ikut mengeskpresikan aksi kamisan itu. Pada 2015 Denny membuat puisi esai panjang terkait aksi itu. Puisi ini dipenuhi catatan kaki soal data aksi dan setting politiknya.

Namun, kata Denny, dari  hasil riset Survei of Public Participation in the Arts, tahun 2015, untuk populasi Amerika Serikat, bisa disimpulkan puisi semakin jarang dibaca. Dalam dunia seni, puisi dan opera dua hal yang paling kurang diminati. Sebaliknya, film menjadi ekspresi seni yang paling populer.

Sejak lama, sambung Denny, ia berniat memfilmkan, memvisualkan aneka puisi esainya. Bersama Hanung Bramantyo di tahun 2014, Denny memfilmkan lima puisi esainya menjadi lima film kritik sosial tema diskriminasi.

Kini di 2020, Denny menggabungkan artis, aktor dan animasi untuk filmnya yang keenam: demo kamisan. Film ini memang kisah cinta. Namun dalam kisah cinta itu, tergambar pula aneka kisah politik yang menghilang paksakan warga negara. Tak hanya di tahun 1998, kisah orang hilang sudah terjadi jauh ke belakang sejak tahun 1965.

Selain itu, menurut Denny, ia juga tengah mempersiapkan 34 skenario film yang semuanya berdasarkan puisi esai. Sebanyak 34 puisi esai yang akan difilmkan itu, menggambarkan kearifan lokal 34 provinsi Indonesia.

Puisi esai, ujar Denny, memang paling mudah difilmkan ketimbang puisi lain. Itu karena puisi esai itu punya plot, panjang dan berbabak. Apalagi, puisi esai ada catatan kaki yang memudahkan penulis skenario mengeksplor sumber kisah.

"Film berdasarkan puisi esai, dengan tema kritik sosial, akan menjadi karakter film saya di kemudian hari, “ ungkap Denny.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement