REPUBLIKA.CO.ID, ROMA -- Jumlah kasus virus corona di Italia, negara yang paling parah dilanda Eropa, melonjak lebih dari 1.200 dalam periode 24 jam, pada Sabtu (7/3). Ini adalah kenaikan harian terbesar sejak epidemi dimulai dua pekan lalu.
Kepala Badan Perlindungan Sipil Italia Angelo Borelli mengatakan, kematian akibat virus menular itu naik menjadi 36 hingga 233.
"Pemerintah akan menyetujui sebuah keputusan pada hari Sabtu nanti yang mengesahkan langkah-langkah lebih banyak untuk mencoba mengatasi virus ini," kata Borrelli.
Pada pekan ini Italia telah melakukan berbagai langkah termasuk penutupan sekolah, bioskop dan banyak acara publik.
Jumlah kasus di negara ini naik menjadi 5.883 pada hari Sabtu dari 4.636 diumumkan pada Jumat (6/3), yang berarti bahwa penularan menunjukkan sedikit tanda melambat.
Penyakit ini pertama kali dikonfirmasi di Italia 15 hari yang lalu dan difokuskan pada beberapa hotspot di utara. Tetapi kasus sekarang telah dikonfirmasi di masing-masing dari 20 wilayah negara itu, dengan kematian tercatat di delapan wilayah.
Pada hari Jumat, pemerintah menyetujui rencana untuk mempekerjakan hingga 20 ribu dokter dan perawat baru untuk merespons keadaan darurat.
Data menunjukkan bahwa wilayah utara Lombardia, Emilia Romagna dan Veneto adalah yang paling terpukul, mewakili 85 persen kasus nasional secara keseluruhan dan 92 persen dari jumlah kematian yang tercatat.
"Kami akan memenangkan pertempuran ini jika warga negara kami mengambil sikap yang bertanggung jawab dan mengubah cara hidup mereka," kata Borrelli
Di daerah yang terkena dampak terburuk, rumah sakit Italia berada di bawah tekanan. Jumlah pasien dalam perawatan intensif naik menjadi 567, naik 23 persen dari hari sebelumnya. Dari mereka yang awalnya terinfeksi, 589 telah pulih sepenuhnya.
Kepala Lembaga Kesehatan Nasional Silvio Brusaferro mengatakan usia rata-rata pasien yang telah meninggal adalah lebih dari 81 tahun. Mereka umumnya laki-laki dan lebih dari 80 persen memiliki lebih dari dua kondisi kesehatan yang mendasarinya. Wabah ini telah menewaskan lebih dari 3.400 orang di seluruh dunia dan menyebar di lebih dari 90 negara di luar China.