REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV — Israel dan Amerika Serikat (AS) dilaporkan tengah berkoordinasi untuk merespons potensi penyelidikan dugaan kejahatan perang yang dilakukan mereka di Tepi Barat serta Jalur Gaza. Kasus tersebut kemungkinan dibawa ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC) di Den Haag, Belanda.
Israel’s Channel 13 melaporkan, Menteri Energi Israel Yuval Steinitz telah memimpin sebuah tim ke Washington. Mereka tiba di sana pada Kamis (5/3). Steinitz adalah tokoh yang ditugaskan mengoordinasikan tanggapan terhadap ICC. Dia didampingi Wakil Penasihat Keamanan Nasional Israel Reuven Azar.
Menurut Israel’s Channel 13, Steinitz dan Azar bertemu dengan para pejabat Gedung Putih, Departemen Luar Negeri AS, dan Kongres. Seorang pejabat Israel menyebut perjalanan Steinitz dan Azar ke Washington bertepatan dengan persetujuan ICC atas penyelidikan kejahatan perang di Afghanistan.
“AS memiliki banyak pengaruh terhadap negara-negara di dunia dan kami ingin mereka juga memberikan tekanan pada masalah kami ketika mereka menekan pada masalah mereka dan mengintegrasikan kami ke dalam kampanye mereka,” kata pejabat Israel tersebut, dilaporkan laman Asharq Al-Awsat pada Ahad (8/3).
Pada Desember tahun lalu, Jaksa ICC Fatou Bensouda telah mengatakan akan meluncurkan penyelidikan penuh terhadap dugaan kejahatan perang di wilayah Palestina. Dia mengaku tak perlu meminta persetujuan para hakim ICC untuk memulai proses tersebut.
"Saya yakin bahwa kejahatan perang telah atau sedang dilakukan di Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur dan Jalur Gaza," kata Bensouda dalam sebuah pernyataan.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menolak keputusan ICC. Menurut dia tindakan penyelidikan dugaan kejahatan perang yang dilakukan negaranya absurd dan tak masuk akal.
Netanyanu menjelaskan terdapat tiga hal absurd terkait penyelidikan yang hendak dilakukan ICC. Pertama, ICC seharusnya menjadi arena di mana negara-negara dapat memerangi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) serius. Apalagi negara yang bersangkutan tak memiliki sistem hukum memadai untuk mengadili kasus tersebut.
"Sebaliknya, apa yang telah terjadi di sini, ICC menerima klaim oleh Palestina, yang tidak memiliki negara, terhadap satu-satunya (negara) demokrasi di Timur Tengah," kata Netanyahu.
Kedua, menurut Netanyahu ICC berusaha mengubah fakta dan hak orang Yahudi untuk tinggal di Israel. Hal tersebut dianggap bertentangan dengan kebenaran sejarah. Terakhir Netanyahu menilai tudingan bahwa Israel melakukan kejahatan perang sangat tak masuk akal. "Siapa yang dituduh di sini, Iran, Suriah, atau Turki? Bukan, tapi Israel, satu-satunya demokrasi di Timur Tengah," ujarnya.