REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi Bali Putri Suastini Koster mengharapkan para pelaku usaha tata rias di Pulau Dewata tidak kebablasan memodifikasi riasan para pengantin. Alasannya, modifikasi berlebihan bisa berdampak ke generasi mendatang tak mengenal lagi "payas" atau rias Bali.
"Saya berharap kepada mereka yang bergerak di bidang tata rias agar ikut memikul tanggung jawab pelestarian. Saya tidak mengekang kreativitas dan kemajuan di bidang tata rias. Namun, ranah penggunaannya harus tepat. Untuk ranah adat, harus tetap lestari sesuai pakem," kata Putri Koster saat menghadiri Musda ke-5 DPD Tiara Kusuma Provinsi Bali, di Denpasar, Ahad (8/3).
DPD Tiara Kusuma merupakan salah satu organisasi yang menaungi Persatuan Ahli Kecantikan dan Pengusaha Salon Indonesia. Putri Koster menyebutkan, setidaknya ada tiga organisasi yang mewadahi para ahli tata rias dan pengusaha salon, yaitu Asosiasi Rias Pengantin Modifikasi dan Modern Indonesia (Katalia), Himpunan Ahli Tata Rias Pengantin Indonesia (Harpi Melati), dan Tiara Kusuma.
Menurut istri Gubernur Bali itu, dengan alasan memenuhi permintaan pengantin, belakangan banyak terjadi modifikasi dalam tata rias dan penggunaan busana adat Bali. "Misalnya, penambahan jubah yang sangat panjang hingga memenuhi halaman rumah. Tinggi bunga juga terkadang tidak mengindahkan ukuran wajah si pengantin hingga kemudian menimbulkan hal yang tidak pas dan secara estetika sangat mengganggu," ujarnya.
Padahal, bila aturan tata rias yang diwariskan leluhur diindahkan, tata rias pengantin Bali sebenarnya sudah pas dengan pemakainya. "Landasan seorang perias adalah etika, estetika, dan norma," ucapnya.
Oleh karena itu, Putri Koster berharap mereka yang bergerak di bidang usaha tata rias tetap berpedoman pada adat dan tradisi, khususnya bila riasan dan busana itu dikenakan untuk ranah adat.
"Dalam tata rias pengantin Bali, leluhur telah mewariskan etika berbusana yang sangat elegan dan penuh estetika yang dibagi dalam beberapa tingkatan, yaitu payas agung dan madya. Riasan mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki telah ada pakemnya, dan bila diikuti akan menghasilkan tata rias yang anggun," ujarnya.
Dalam berkreativitas, Putri Koster melanjutkan, mereka yang bergerak dalam usaha salon dan tata rias diharapkan tetap berpedoman pada dua hal, yaitu upaya pelestarian dan pengembangan budaya Bali. "Jangan sampai keduanya berbenturan. Ketiga organisasi harus bersinergi dalam dua ruang ini, yaitu pelestarian dan pengembangan," katanya.
Masih terkait busana pengantin, Putri Koster meminta kepada pelaku usaha tata rias yang menyewakan busana agar menggunakan kain songket hasil tenun, bukan bordiran yang belakangan banyak beredar di pasaran. "Kita harus ambil bagian dalam upaya pelestarian tenun tradisional Bali," ucap wanita yang juga seniman multitalenta itu.
Di sisi lain, dia juga mendorong adanya diskusi kelompok terfokus (FGD) tiga organisasi yang begerak dalam usaha tata rias dan salon sehingga ada satu pemahaman dalam upaya pelestarian dan pengembangan. OPD terkait pun diminta merancang payung hukum agar keberadaan seluruh pengusaha salon dan tata rias bisa diwadahi untuk mencegah perang harga.
"Selain itu, payung hukum ini juga dibutuhkan untuk mencegah malapraktik dalam dunia kecantikan karena belakangan banyak wanita yang ingin kulitnya jadi lebih putih atau hidung mancung," katanya.
Padahal, belum tentu sebuah produk yang ditawarkan salon kecantikan aman bagi mereka. Yang ada, bukannya tambah cantik, malah sebaliknya.