Senin 09 Mar 2020 06:01 WIB

Kematian Babi Akibat Virus ASF di Sumut Tembus 47 Ribu Kasus

ASF merupakan penyakit yang sudah lama ada, diawali di Afrika pada tahun 1920-an.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Babi Ternak (Ilustrasi)
Foto: Pixabay
Babi Ternak (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pertanian menyatakan, kematian ternak babi akibat wabah demam babi afrika (African Swine Fever/AF) di Sumatera Utara sudah mencapai 47.534 kasus. Puluhan ribu kasus itu terjadi di 21 kabupatan dan kota.

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementan, I Ketut Diarmita, mengatakan, partisipasi masyarakat diperlukan untuk menekan kasus wabah tersebut. Tanpa adanya pengetatan dan pengawasan lalu lintas hewan, sulit untuk membendung wabah ASF.

Baca Juga

"Partisipasi masyarakat dalam program sangat penting, kita harapkan peran dan sumbangsih para tokoh masyarakat, agama, dan adat untuk dapat membantu memberikan pemahaman pada masyarakat terkait hal ini," kata Ketut dalam keterangannya, Senin (9/3).

Ketut mengatakan, selama ini pengendalian penyakit hewan lebih banyak mengandalkan aspek teknis. Padahal, aspek lain seperti sosial budaya dan dukungan politis juga dibutuhkan. Oleh karenanya, sangat penting untuk adanya keterlibatan tokoh yang dipercaya oleh masyarakat dalam pengendalian penyakit hewan.

Ketut menjelaskan bahwa dalam beberapa bulan terakhir, Ditjen PKH terus fokus dalam penanganan penyakit yang mengakibatkan kematian pada Babi. Kejadian tersebut berawal di Sumatera Utara pada akhir 2019, yang kemudian dinyatakan secara resmi sebagai wabah ASF.

Menurutnya, ASF merupakan penyakit yang sudah lama ada, diawali di Afrika pada tahun 1920-an, penyakit ini menyebar ke Eropa dan akhirnya dalam beberapa tahun terakhir masuk ke dan menyebar di Asia.

"Penyakit ASF ini sangat menular dan sampai saat ini belum ada obat atau vaksinnya. Sekali ASF masuk ke suatu wilayah, sulit untuk diberantasnya," tuturnya.

Oleh karena itu, Ketut mengklaim, sejak China menyatakan adanya wabah ASF pada akhir tahun 2018, Indonesia sudah mempersiapkan diri menghadapi masuknya penyakit tersebut.

Langkah-langkah yang telah dilakukan dari sejak wabah ASF terjadi di China yakni membuat surat edaran kewaspadaan penyakit ASF, memberikan bimbingan teknis dan simulasi penyakit ASF kepada petugas, melakukan sosialisasi secara langsung kepada petugas dan peternak, serta memberikan bahan sosialiasasi terkait ASF kepada dinas PKH di daerah.

"Kita juga telah siapkan bantuan desinfektan, sprayer, alat pelindung diri dan bahan pendukung lainnya, serta dana tambahan untuk pencegahan dan pengendalian ASF," tambah Ketut.

Ditjen PKH, kata dia, telah berkoordinasi dan meminta Karantina Pertanian untuk terus meningkatkan pengawasan terhadap barang bawaan penumpang pesawat atau kapal laut dari luar negeri yang membawa produk segar dan olahan babi. Di sisi lain, juga meminta stakeholder lain melakukan pengawasan penggunaan sisa-sisa makanan sebagai pakan babi (swill feed).

Ketut menambahkan, selain pengendalian penyakit, pemerintah juga menyiapkan solusi untuk pemulihan ekonomi bagi peternak dan pekerja di peternakan tersebut.

Bagi peternak terdampak, telah diberikan bantuan penguburan atau pembakaran bangkai. Ketut juga memberikan alternatif bagi pekerja yang terdampak kemungkinan fasilitasi pemberian bantuan ternak selain babi sebagai sumber penghidupan.

"Saat ini kita akan coba fasilitasi dengan pihak bank agar ada kebijakan yang meringankan peternak terkait kredit, pemberian kredit dengan bunga murah bagi peternak yang mau memulai usaha kembali, dan fasilitasi asuransinya," kata dia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement