Senin 09 Mar 2020 14:48 WIB

Pedagang Pasar: Harga Bawang Putih Belum Normal

Ketersediaan bawang putih minim, pemerintah diminta intervensi.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolandha
Sejumlah pedagang di pasar tradisional mengeluhkan harga komoditas bawang putih yang masih mahal.
Foto: Republika/Abdan Syakura
Sejumlah pedagang di pasar tradisional mengeluhkan harga komoditas bawang putih yang masih mahal.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Sejumlah pedagang di pasar tradisional mengeluhkan harga komoditas bawang putih yang masih mahal. Selain harga yang mahal, ketersediaan pasokan juga dinilai minim. Pemerintah diminta melakukan intervensi sebelum memasuki bulan puasa pada April mendatang.

Seperti yang diturukan Yolanda (44), salah satu pedagang sembako di Pasar Anyar Bogor, bawang putih masih dihargai Rp 45 ribu per kilogram (kg). Menurutnya, harga berangsur mulai awal bulan Maret dari sebelumnya di atas Rp 60 ribu per kg.

Baca Juga

"Ini sudah mulai turun. Tapi belum normal itu. Masih mahal. Harusnya biasa paling mahal Rp 30 ribu per kg," kata Yolanda saat ditemui Republika.co.id di Bogor, Senin (9/3).

Menurutnya, harga mulai mahal sejak awal tahun saat isu virus corona baru mulai ramai diberitakan. Dirinya biasa mengambil bawang putih dari distributor pemasok yang rutin mengantar barang. Menurut Yolanda, informasi yang diterima pedagang dari pemasok akibat ada gangguan dari China karena mayoritas bawang putih diimpor dari sana.

Jelang bulan puasa, Yolanda mengatakan bahwa harga kemungkinan akan kembali naik. Sebab, dipastikan permintaan akan meningkat dan kenaikan harga bahan pokok jelang puasa merupakan pola rutinan yang pasti terjadi.

Sementara itu, Eneng Nurhasanah (47), menuturkan, harga sempat menyentuh Rp 70 ribu per kg saat awal Februari lalu. Padahal, akhir 2019 bawang putih hanya dihargai Rp 25 ribu per kg. Senada dengan Yolanda, Eneng menuturkan, informasi yang diterima pedagang soal penyebab mahalnya bawang putih akibat virus corona.

"Tolonglah, kalau bisa harga turun lagi biar seperti normal apalagi mau puasa. Sekarang masih Rp 45 ribu, pedagang juga susah kalau harga mahal-mahal, barang juga susah," tuturnya.

Eneng menjelaskan, dari penjualan bawang putih, rata-rata keuntungan yang diambil hanya Rp 5.000 per kg. Saat terdapat kenaikan harga, kerap kali pedagang harus merugi. Salah satu penyebabnya demi menekan harga untuk konsumen, selain itu adanya susut volume bawang putih saat diperdagangkan.

"Saya kadang nombok, banyak penyebabnya. Ada susut, timbangan, biaya lainnya. Jadi sama saja kalau harga tinggi bukan kita ambil banyak untung," ucapnya menambahkan.

Ketua Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) Abdullah Mansuri menambahkan, operasi pasar yang dilakukan pemerintah tidak akan mampu menyelesaikan persoalan harga. Ia menegaskan, operasi pasar harus dilakukan melalui pengendalian harga langsung melalui pedagang.

Menurut Mansuri, operasi pasar sering kali dilakukan dengan menjual bahan pokok langsung kepada konsumen di pasar tradisional. Hal itu justru membuat adanya gesekan dengan pedagang. Mansuri mengatakan, para pedagang harus mendapatkan suplai bawang putih dengan harga murah dan jumlah yang besar.

"Tapi, pedagang di pasar eceran, bukan pasar induk. Karena apa? dari pasar induk ke eceran itu masih ada dua rantai," ujarnya.

Menjelang bulan puasa, Ikappi juga belum mendapatkan informasi dari pemerintah, khususnya Kementerian Perdagangan mengenai persiapan bahan pokok. Padahal, seharusnya komunikasi intensif dan koordinasi antara pemerintah dan asosiasi harus dipererat untuk menyambut bulan puasa.

Kemendag, kata Ikappi, terkesan tertutup dan kurang menyerap informasi dari lapangan. Hal itu melahirkan risiko tinggi  terjadinya potensi lonjakan harga bahan pokok dalam dua bulan ke depan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement