REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi yang menyusun kode etik bagi pimpinan KPK baru membuang nilai dasar religiusitas dan diganti dengan sinergi. Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Djamil menilai Dewas telah lupa dengan isi sila pertama dalam Pancasila.
"Terkesan bahwa Dewas lupa kalau nilai itu bersumber dari sila pertama Pancasila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa," ujar Nasir kepada Republika, Senin (9/3).
Dia khawatir, dengan dihapusnya nilai religiusitas adalah tanda bahwa Dewas KPK memiliki pemikiran islamphobia. Di mana ada ketakutan bahwa memasukkan religiusitas seolah-olah ada agamisasi dalam pemberantasan tipikor.
"Padahal, nilai-nilai religi secara konseptual dan fungsional sangat mempengaruhi etika penyelenggara negara," ujar Nasir.
Menurutnya, tidak ada kerugian dalam memasukkan nilai religiusitas dalam kode etik KPK. Bahkan, hak itu akan menguntungkan dalam proses pencegahan dan pemberantasan korupsi.
"Nilai itu akan merangsang umat beragama di Indonesia untuk membantu pemberantasan korupsi di Indonesia," ujar Nasir.
Sebelumnya, kode etik baru Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah selesai disusun oleh Dewan Pengawas dan Pimpinan KPK. Sejumlah poin dalam kode etik baru itu terdapat perubahan, salah satunya dalam nilai dasar lembaga yang tidak lagi mencantumkan aspek religiusitas.
Nilai religiusitas yang sebelumnya disebut secara eksplisit, serta dianggap melekat dan memayungi seluruh nilai dasar yang ada, kini diubah dengan nilai sinergi. Ini merupakan wujud penjelasan UU Nomor 19 Tahun 2019 bahwa dalam pelaksanaan tugasnya, KPK harus menjadikan aparat penegak hukum lain sebagai counterpart KPK.