Senin 09 Mar 2020 18:28 WIB

BPK: Penyimpangan Jiwasraya Sejak 2008, Paling Masif 2014

BPK mengungkapkan total kerugian negara di kasus Jiwasraya mencapai Rp 16,8 triliun.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Teguh Firmansyah
Petugas melintas di depan logo PT Asuransi Jiwasraya.(Republika/Wihdan)
Foto: Republika/Wihdan
Petugas melintas di depan logo PT Asuransi Jiwasraya.(Republika/Wihdan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyimpulkan ragam dan penyimpangan keuangan PT Asuransi Jiwasraya terjadi sejak 2008. Penghitungan kerugian negara (PKN) oleh BPK, menebalkan angka kerugian negara sebesar Rp 16,8 triliun.

Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengatakan, kerugian tersebut didapat dari penyimpangan pengelolaan dana produk asuransi Jiwasraya Saving Plan selama 10 tahun sampai 2018. Intensitas penyimpangan paling masif terjadi sejak 2014.

Baca Juga

Agung menerangkan, ada dua angka terpisah dalam kerugian negara hasil penghitungan BPK. Pertama, kerugian negara sebesar Rp 4,65 triliun yang disebabkan pengalihan dana JS Saving Plan ke dalam investasi saham-saham bermasalah.

Selain itu, kerugian negara senilai Rp 12,16 triliun yang disebabkan oleh investasi reksadana. Dua angka kerugian negara yang berbeda itu, kata Agung, terjadi dalam periode satu dasawarsa pembukuan 2008-2018.

“Investasi Jiwasraya itu, terjadi pada 2008. Sampai dengan 2018. Walaupun intensitasnya, peningkatannya itu terjadi 2014, 2015, 2016, dan seterusnya sampai 2018,” kata Agung saat konfrensi pers bersama Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, di Kejaksaan Agung (Kejakgung) Jakarta, Senin (9/3).

Agung menerangkan kerugian negara itu, terkait dengan dana yang digelontorkan Jiwasraya untuk membeli unit-unit saham, dan penyertaan reksadana underline. Gelontoran dana tersebut, kata Agung diduga dengan pengendalian efek yang dilakukan oleh pihak-pihak terafiliasi di Jiwasraya sendiri.

Angka kerugian negara, Agung menerangkan, diperoleh dengan melakukan audit pengurangan dana total yang digelontorkan Jiwasraya ke dalam investasi saham dan reksadana. Kemudian mengurangi keuangan total yang diterima ke dalam kas Jiwasraya dari hasil penjualan saham dan reksadana. “Pendekatannya total lost. Ini teknis sekali. Tetapi, gambarannya seperti itu,” terang Agung.

Angka pasti kerugian negara keluaran BPK ini, menandai peningkatan penyidikan Jiwasraya, menuju pendakwaan. Karena sejak Januari 2020, Direktorat Pidana Khusus di Kejakgung sudah melakukan penyidikan, dan merampungkan pemberkasan tahap pertama, sebelum dibawa ke Jaksa Penuntut.

Sementara ini penyidikan di Kejakgung, sudah menetapkan enam tersangka.  Mereka yaitu, tersangka Benny Tjokosaputro, Heru Hidayat, Joko Hartono Tirto yang ketiganya terkait dengan jual beli saham oleh Jiwasraya. Sementara tiga tersangka lainnya yakni para mantan petinggi Jiwasraya.

Tersangka Hendrisman Rahim, Harry Prasetyo, dan Syahmirwan. Keenam tersangka ini, kini dalam penahanan. Kejakgung menjerat keenamnya, dengan Pasal 2 ayat (1), dan Pasal 3, juncto Pasal 18 UU Tipikor 20/2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUH Pidana.

Khusus tersangka Benny Tjokro dan Heru Hidayat, Kejakgung juga menebalkan sangkaan TPPU dengan Pasal 3, 4, atau 5 UU 8/2010. Keenam tersangka, terancam pidana di atas sembilan tahun penjara jika terbukti melakukan korupsi dan pencucian uang dalam kasus Jiwasraya.

“Karena yang kita (penyidik) perlukan selama ini, kerugian negara. Dan kerugian negera itu sudah kita dapat dari BPK. Tinggal kami melengkapi pemberkasan, dan akan segera kami limpahkan (ke Jaksa Penuntut),” terang Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement