REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, menyatakan pemerintah akan mengikuti putusan Mahkamah Agung (MA) tentang iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Menurutnya, putusan uji materi MA bersifat final dan tak bisa dibanding lagi.
"Kalau judicial review (uji materi) itu sekali diputus final dan mengikat. Oleh sebab itu ya kita ikuti saja. Pemerintah kan tidak boleh melawan putusan pengadilan," ujar Mahfud di kantornya, Gambir, Jakarta Pusat, Senin (9/3).
Menurut Mahfud, tidak ada banding yang dapat dilakukan terhadap hasil uji materi. Hal itu berbeda dengan gugatan perkara perdata atau pidana yang masih bisa dilakukan peninjauan kembali (PK).
MA mengabulkan permohonan uji materi terhadap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Dengan begitu, iuran BPJS batal naik.
"Menerima dan mengabulkan sebagian permohonan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) tersebut," ujar juru bicara MA, Hakim Agung Andi Samsan Nganro, saat dikonfirmasi, Senin (9/3).
Perkara Nomor 7 P/HUM/2020 perkara Hak Uji Materiil itu diputus pada Kamis (27/2) lalu. MA menyatakan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres Nomor 75 Tahun 2019 bertentangan dengan sejumlah ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi, di antaranya yang terdapat pada UUD 1945, UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan yang lainnya.
"Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres RI Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan tidak mempunyai hukum mengikat," katanya.
Sebelumnya, KPCDI mendaftarkan hak uji materiil Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan ke Mahkamah Agung, Jakarta Pusat, Kamis (05/12/2019).
Pengacara KPCDI, Rusdianto Matulatuwa berpendapat, kebijakan kenaikkan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen menuai penolakan dari sejumlah pihak salah satunya dari KPCDI.
“Angka kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen menimbulkan peserta bertanya-tanya darimana angka tersebut didapat, sedangkan kenaikkan penghasilan tidak sampai 10 persen setiap tahun,” kata dia dikutip dari laman KPCDI, Senin (9/3).
Rusdianto menegaskan, Iuran BPJS naik 100 persen tanpa ada alasan logis, dan sangat tidak manusiawi. Menurutnya, parameter negara ketika ingin menghitung suatu kekuatan daya beli masyarakat disesuaikan dengan tingkat inflasi. "Nah, ini kenaikkan (inflasi) tidak sampai lima persen, tapi iuran BPJS dinaikkan 100 persen, ini kan tidak masuk akal,” katanya.
Menurut Rusdianto, Perpres 75 Tahun 2019 menjadi bertentangan dengan Undang Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. “Ya undang-undangnya kan mengatakan besaran iuran itu ditetapkan secara berkala sesuai perkembangan sosial,ekonomi, dan kebutuhan dasar hidup yang layak,” jelas dia.