REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan vonis lepas terhadap mantan Direktur Utama Pertamina, Karen Agustiawan.
Sebelumnya, Mantan direktur utama PT Pertamina tersebut divonis selama delapan tahun penjara dan pidana denda sebesar satu miliar rupiah subsidair empat bulan kurungan terkait kasus BMG karena dianggap menyalahgunakan wewenang hingga merugikan negara sekitar Rp 568 miliar.
"Vonis lepas," kata juru bicara MA Andi Samsan Nganro saat dikonfirmasi, Senin (9/3).
Dalam putusannya, Karen dinilai tak terbukti melakukan perbuatan yang ditaksir merugikan negara hingga Rp 568 miliar. Putusan itu diadili oleh Ketua Majelis Hakim Agung Abdul Latif dengan anggota Krisna Harahap, M. Asikin dan Sofyan Sitompul.
Masih dalam putusannya, perbuatan Karen dinilai bukan bentuk pidana korupsi. MA memandang, kegagalan Pertamina dalam akuisisi saham Blok BMG sebesar 10 persen atau senilai 31,5 juta dollar AS bukan sebagai kerugian negara.
Sementara, kuasa hukum Karen, Soesilo Ariwibowo mengatakan, saat ini pihaknya masih menunggu petikan putusan dari MA.
"Iya benar, saya baru saja mendengar putusannya, tinggal menunggu petikan putusan," kata Soesilo.
Dalam putusannya, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menyatakan Karen bersalah karena melanggar Pasal 3 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Putusan tersebut lebih rendah dari tuntutan tim jaksa penuntut umum (JPU) pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), yakni 15 tahun penjara dan pidana denda sebesar satu miliar rupiah subsidair enam bulan kurungan, serta membayar uang pengganti sebesar Rp 284.033.000.000,- (dua ratus delapan puluh empat miliar tiga puluh tiga juta rupiah) subsidair lima tahun penjara.
Sebelumnya, tim JPU juga menjerat terdakwa dengan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kasus yang merugikan keuangan negara hingga Rp 568 miliar itu bermula pada 2009. Ketika itu, Pertamina melakukan kegiatan akuisisi (investasi nonrutin) berupa pembelian sebagian aset milik ROC Oil Company Ltd di lapangan BMG Australia. Kegiatan itu merujuk agreement for sale and purchase-BMG Project tertanggal 27 Mei 2009 senilai 31.917.228 dolar AS.
Namun, dalam pelaksanaannya justru ditemui dugaan penyimpangan terkait pengusulan investasi yang tidak sesuai dengan pedoman investasi dalam pengambilan keputusan investasi, yakni tanpa kajian kelayakan (feasibility study) berupa kajian secara lengkap (final due dilligence), serta tanpa adanya persetujuan dari dewan komisaris.
Walhasil, kasus itu menyebabkan peruntukan dan penggunaan dana 31.492.851 dolar AS serta biaya-biaya yang timbul lainnya sejumlah 26.808.244 dolar Australia tidak memberikan manfaat atau keuntungan kepada PT Pertamina, khususnya dalam rangka penambahan cadangan dan produksi minyak nasional.