REPUBLIKA.CO.ID, BANJARMASIN -- Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah bin Abdur Rahman al-Banjari, demikian nama seorang ulama ternama asal Kalimantan yang kiprahnya terkenal di seantero nusantara. Berangkat dari tanah kelahirannya di Martapura, syekh belajar ke tanah kelahiran Islam, Makkah dan Madinah, kemudian pulang menjadi ulama yang mendidik banyak putra bangsa serta mencetak du'at penerus dakwah.
Dia lahir pada 15 Safar 1122 Hijriyah atau bertepatan dengan 17 Maret 1710 Masehi. Menurut beberapa sumber, ia memiliki garis keturunan hingga cucu Rasulullah dari Ali bin Abi Thalib dan Fathimah az-Zahra. Nenek moyang syekh yang datang ke tanah Melayu merupakan Abdullah bin Abu Bakar as-Sakran, kakek dari Abdur Rahman al-Banjari.
Abdullah pertama kali datang di Filipina dan mendirikan Kerajaan Mindano. Saat perang melawan Portugis, datuk Muhammad Arsyad ini melarikan diri ke Martapura atau Lok Gabang. Di Ibu Kota Kerajaan Banjar inilah, ia menurunkan keturunan hingga lahirlah Syekh Muhammad Arsyad.
Lahir di tengah keluarga beragama, Syekh Arsyad mendapat pendidikan Islam yang baik. Hingga menginjak usia remaja, ia pun berangkat ke Haramain untuk menempa ilmu. Tak tanggung-tanggung, syekh menghabiskan waktu 30 tahun di Makkah dan lima tahun di Madinah untuk menyempurnakan ilmu agmanya. Tak heran jika kefakihannya tak tertandingi di nusantara saat ia pulang kembali ke kampung halaman.
Waktu lama yang Syekh Arsyad habiskan di Tanah Suci membuatnya menjadi murid sekaligus sahabat para masyayikh ternama Saudi. Beberapa di antaranya, yakni Syekh 'Athoillah bin Ahmad al-Mishry, Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi dan Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Hasani al-Madani. Disebutkan pada masa itu, terdapat empat ulama dari Tanah Air yang menuntut ilmu di Haramain.
Selain Syekh Arsyad, terdapat pula Syekh ‘Abdus Shamad al-Falimbani dari Palembang, Syekh Abdur Rahman al-Mashri al-Batawi dari Betawi, dan Syekh Abdul Wahhab Bugis dari Bugis. Dengan mereka, Syekh Arsyad berteman baik dan menuntut ilmu di Tanah Suci. Keempatnya pun kemudian dijuluki "Empat Serangkai dari Tanah Jawi (Melayu)".