REPUBLIKA.CO.ID, Jauh sebelum datangnya Islam, bangsa Arab memiliki tradisi berpidato. Menurut Khalid Alhelwah dalam disertasinya untuk Ohio State University berjudul “The Emergence and Development of Arabic Rhetorical Theory 500 CE-1400 CE” (1998), bangsa Arab menganggap seni bahasa dan retorikanya sebagai kontribusi terbaiknya untuk dunia. Kebanggaan demikian sejalan dengan karakteristik bangsa Arab yang hidup dari jalur perniagaan.
Alhelwah mengutip studi yang dilakukan Ihsan al-Nuss, “al-Khatabah al-‘Arabiyah fi ‘Ashriha al-Dhahabi” (1963). Menurut al-Nuss, ada beberapa jenis orasi di era Arab pra-Islam (sekitar 500 masehi).
Pertama, kontes adu-orasi, di mana dua suku atau lebih saling mempertandingkan orator terbaik mereka untuk saling berbalas sajak. Kedua, orasi yang bertujuan untuk mengajak pada peperangan atau pembalasan dendam. Ketiga, sebaliknya dari orasi kedua, yakni ajakan untuk berunding atau mengadakan perjanjian damai.
Keempat, orasi yang diadakan dalam upacara penyambutan mempelai di resepsi pernikahan. Kelima, orasi yang menyerupai ceramah-ceramah kebijaksanaan. Keenam, orasi sambutan-sambutan ketika berlangsung pertemuan antarsuku. Ketujuh, uraian nasihat (wasaya) yang dilakukan seorang tetua terhadap beberapa anggota keluarga. Kedelapan, retorika yang disampaikan secara cepat-cepat oleh ahli nujum (kahin).
Ciri umum orasi pada masa pra-Islam adalah penekanannya pada bentuk-bentuk puitis, seperti ritme dan rima. Hal itu terutama pada jenis kedelapan tersebut. Pada zaman itu, sosok orator berperan banyak. Yakni, sebagai sejarawan melalui memori-memori akan peristiwa yang mengesankan bagi kaumnya. Kemudian, sebagai pengingat moral dan penjaga sikap patriotis, yakni dengan menceritakan kembali perang yang pernah dialami kaumnya. Dengan demikian, penyair, yang mendominasi tugas sebagai orator, bukan hanya hadir sebagai pelipur lara, melainkan juga penjaga komunitasnya, baik dari segi spiritual maupun intelektual.