Selasa 10 Mar 2020 01:03 WIB

Legislator Apresiasi Putusan MA Terkait Iuran BPJS Kesehatan

Legislator PKB menilai putusan MA terkait BPJS Kesehatan mengembirakan masyarakat.

Anggota Komisi IX Nur Nadlifah mengomentari soal pembatalan iuran BPJS
Foto: Istimewa
Anggota Komisi IX Nur Nadlifah mengomentari soal pembatalan iuran BPJS

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi IX Nur Nadlifah mengatakan putusan Mahkamah Agung yang membatalkan kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan, merupakan kabar baik bagi masyarakat. Anggota Fraksi PKB itu berharap dengan adanya putusan ini BPJS dan pemerintah mencari solusi lain untuk mengatasi defisit anggaran tersebut.

"Ini kabar baik bagi masyarakat Indonesia. Sejak awal DPR menolak kenaikan iuran BPJS. Terutama bagi masyarakat kelas menengah kebawah. Kami sangat mengapresiasi putuan MA ini," kata Nadlifah, Senin (9/3).

Baca Juga

Menurut  Nadlifah,  penolakan terhadap kenaikan iuran BPJS untuk peserta PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah) kelas III yang jumlahnya mencapai 19,9 juta orang itu sangat memberatkan. Apalagi keputusan tidak menaikkan iuran BPJS kelas III sudah disepakati dalam rapat gabungan antara Komisi IX DPR, Kemenkes, BPJS dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) pada November 2019 lalu.

Dengan keputusan pembatalan oleh MA, Nadlifah berharap pihak BPJS dan pemerintah mencari solusi lain terkait defisitnya anggaran tersebut.  "BPJS bisa menerapkan sejumlah masukan yang diberikan DPR. Seperti melakukan subsidi anggaran dan lain-lain," katanya.

Seperti diketahui MA mengabulkan uji materiel Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Keputusan itu sekaligus membatalkan kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

"Perkara Nomor 7 P/HUM/2020 perkara hak uji materiel. Diputus Kamis, 27 Februari 2020," ujar juru bicara MA Andi Samsan Nganro di Jakarta, Senin, 9 Maret 2020.

Dalam amar putusan itu, MA menerima dan mengabulkan sebagian permohonan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) selaku penggugat.  Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu Pasal 23A Pasal 28 H juncto Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Perpres Nomor 75 Tahun 2019 itu juga dinilai bertentangan dengan Pasal 2, Pasal 4 (huruf b, c, d, dan e), Pasal 17 ayat 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Pasal 234 huruf (b, c, d, dan e) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dan Pasal 4 juncto Pasal 5 ayat (2) juncto Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

"Menyatakan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menyatakan permohonan pemohon ditolak untuk selebihnya," bunyi putusan tersebut.

Bunyi Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres Nomor 75 Tahun 2019 itu sebagai berikut:

(1) Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP sebesar; a. Rp42.OOO per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III. b. Rp110.000 per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II; atau c. Rp160.000 per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I.

(2) Besaran iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2O2O.

Besaran iuran yang diatur dalam Perpres Nomor 75 Tahun 2019 itu naik 100 persen dari sebelumnya. Iuran kelas III naik dari Rp25.500 menjadi Rp42 ribu per bulan per peserta. Kelas II dari Rp51 ribu menjadi Rp110 ribu, sedangkan kelas I naik dari Rp80 ribu menjadi Rp160 ribu.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement