REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menilai, kebijakan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, pasti disambut baik oleh masyarakat. Sebab, beban pengeluaran mereka pasti akan berkurang seiring dengan keputusan tersebut.
Ganjar menjelaskan, pekerjaan rumah besar kini berada di tangan institusi BPJS Kesehatan. Mereka harus melakukan kajian kembali mengenai struktur organisasi dan sistem kerja yang selama ini berdampak pada defisit keuangan.
"Bagaimana pengelolaan yang jauh lebih baik. Bagaimana kemudian ini bisa dilakukan efektif," ujarnya ketika ditemui di Gedung Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jakarta, Senin (9/3).
Di sisi lain, Ganjar menambahkan, masyarakat juga harus memanfaatkan fasilitas BPJS Kesehatan secara bijak. Ia berharap, mereka tidak melakukan demoralisasi. Misal, yang seharusnya cukup mendapatkan perawatan berobat jalan, memaksa untuk dirawat inap. Kondisi ini harus terus diperketat untuk menjaga cash flow BPJS Kesehatan.
Apabila memang ada kebijakan yang harus disiapkan, Ganjar berharap, dapat menyeimbangkan antara kemampuan masyarakat dengan kemampuan fiskal BPJS Kesehatan. "Agar BPJS tepat bisa survive, tapi ya pengelolaannya tidak cukup hanya begini-begini saja," katanya.
Diketahui, MA mengabulkan permohonan uji materi terhadap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan per Senin. Artinya, iuran BPJS Kesehatan yang seharusnya naik hingga 100 persen pun dibatalkan.
Berdasarkan Perpres tersebut, salah satu komponen yang naik adalah iuran peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) di tingkat daerah. Iuran ini dibayarkan oleh pemerintah daerah melalui APBD.
Apabila kebijakan ini dibatalkan, otomatis beban belanja dalam APBD pun ikut berkurang. Tapi, Ganjar tidak menyebutkan potensi dampak ini. "Nggak apa-apa," tuturnya saat ditanya dampak keputusan MA terhadap Jawa Tengah.
Sementara itu, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menyebutkan, pihaknya akan membahas keputusan terbaru MA. Pemerintah juga siap menelaah dampak dari keputusan tersebut, termasuk menarik suntikan dana yang sudah diberikan Kemenkeu sebesar Rp 13,5 triliun pada tahun lalu.
Seperti diketahui, sisa defisit BPJS Kesehatan sampai akhir tahun mencapai Rp 15,5 triliun setelah disuntik oleh pemerintah pusat sebesar Rp 13,5 triliun. "Kalau kita berikan uang seperti itu lagi, tahun depan tidak tahu lagi (defisit) berapa," tutur Suahasil ketika ditemui di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (9/3).
Suntikan yang dilakukan pemerintah pusat pada tahun lalu adalah berupa pembayaran iuran Penerima Bantuan Iuran (PBI) pusat serta peserta penerima upah (PPU) khususnya Pemerintah. Dalam hal ini adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS), prajurit TNI, serta anggota Kepolisian. Pemerintah pusat juga membantu pemerintah daerah untuk menanggung pembayaran iuran PBI daerah untuk periode Agustus sampai Desember 2019.
Pada tahun ini, Kementerian Keuangan juga sudah membayar PBI dengan tarif baru. Merujuk pada Undang-Undang APBN 2020, pemerintah sudah menganggarkan Rp 48 triliun untuk pembayaran premi PBI yang berjumlah 96,8 juta jiwa.