REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Para lama terdahulu banyak berjuang untuk agama dan bangsanya. Bahkan, beberapa di antaranya berada di garis terdepan dalam melawan ketidakadilan, pendindasan, dan tindakan kesewenangan-wenangan yang dilakukan para penjajah. Setelah Indonesia merdeka, mereka juga berkontribusi dalam mempertehankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Tidak hanya itu, para ulama juga memperjuangkan kepentingan masyarakat banyak, sehingga mampu mengubah kehidupan rakyat Indonesia yang mayoritas muslim menjadi lebih sejahtera. Peran-peran itulah yang dilakukan oleh KH. Zaini Mun’im. Beliau merupakan seorang mujaddid dari Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, Jawa Timur.
Kiai Zaini berasal dari Desa Galis, Pamekasan, Madura. Beliau lahir pada 1906 sebagai putra putra pertama dari pasangan KH. Abdul Mun’im dan Ny. Hj. Hamidahini. Sebagai putera seorang kiai Madura, beliau mendapatkan panggilan Lora Zaini. Dalam darahnya mengalir darah biru dari kalangan ulama dan raja.
Ayahnya adalah putra Kiai Mudarik bin Kiai Ismail yang merupakan generasi kedua penerus Pesantren Kembang Kuning, Pamekasan Madura. Sedangkan ibunya merupakan keturunan Raja Pamekasan melalui jalur KH. Bujuk Azhar atau dikenal dengan Ratoh Sidabulangan, penguasa Kraton Pamekasan Madura.
Sebagaimana dijelaskan dalam laman resmi Nurul Jadid, semangat melawan penindasan telah tertanam di dalam diri Kiai Zaini Mun’im sejak muda, terutama setelah pulang dari tanah suci Makkah pada 1934. Sejak saat itu, Kiai Zaini sudah mulai memperhatikan berbagai persoalan yang melilit kehidupan masyarakat sekitar.
Dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat, ulama kelahiran Madura ini aktif dalam organisasi Nahdlatul Ulama (NU) di Pemakasan. Meskipun saat itu sudah menjadi pengasuh Pondok Pesantren Panggung Galis, beliau tidak segan untuk ikut terjuang langsung menangani berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat sekitar, khususnya tentang kebijakan pemerintah kolonial Belanda di bidang pertanian tembakau.
Selain itu, Kiai Zaini juga terlibat sebagai pejuang dalam mempertahankan NKRI, baik pada masa penjahan Jepang maupun Belanda. Pada masa pendudukan Jepang, Kiai Zaini dipercaya sebagai pimpinan Barisan Pembela Tanah Air (PETA). Beliau juga dipercaya sebagai pimpinan para pejuang Sabilillah ketika melakukan serangan umum pada 16 Agustus 1947 terhadap tentara Belanda yang menguasai Pamekasan.
Kiai Zaini termasuk orang yang sangat dicari dan diwasapadai oleh Belanda. Pengaruh yang beliau miliki membuat Belanda khawatir sepak terjangnya akan mempengaruhi dan menggerakkan rakyat untuk melawan penjajah.
Karena itu, Kiai Zaini pernah ditangkap oleh Belanda dan dipenjarakan saat hijrah ke Probolinggo. Saat itu, beliau dipaksa oleh Belanda untuk membocorkan keberadaan teman-teman seperjangannya. Namun, dengan jiwa besar yang dimilikinya Kiai Zaini lebih memilih melindungi mereka. Semboyan “merdeka atau mati” beliau pegang dengan teguh. Setelah dipenjara kurang lebih tiga bulan, akhirnya Kiai Zaini dipulangkan ke rumahnya ke Desa Karanganyar, Paiton, Probolinggo.